klik

Pages

Wednesday, April 1, 2015

RINDU UNTUK BAPAK

Suatu pagi seorang bapak muda duduk dengan putranya. Ditengah kegundahan hatinya karena sedang sakit, bapak tersebut tidak bisa bekerja seperti biasanya. Dia duduk dibangku panjang sambil bercengkrama dengan putra kesayangannya itu.

Putra tersebut sedang berusia 3 tahun. Masih terlihat jelas rona bahagia sang bapak karena anaknya kini kian tumbuh besar. Dipeluknya erat anak tersebut karena udara semalam masih menyisakan embun dipagi itu. Acap kali sang anak bertanya deangan bapaknya
Pak, itu burung apa” sang anak bertanya kepada bapaknya sambil melihat burung diatas pohon rambutan didepan rumah
itu namanya burung kelayang” jawab sang bapak sambil memeluk putranya dengan kasih sayang.
Berulang kali sang anak bertanya tentang nama burung itu. Mungkin ada sekitar belasan pertanyaa yang diberikan oleh anak tersebut kepada bapaknya. Semua pertanyaan tersebut adalah sama. Dengan sebanyak itu pula sang bapak menjawab pertanyaan putranya dengan sabar. Tanpa marah sedikitpun. Malah dijawab sambil memeluk erat si putranya itu.
Berlalunya waktu tanpa terasa anaknya sudah tidak lagi berumur 3 Tahun. Anaknya sudah menduduki bangku SMP dan mulai beranjak remaja. Kasih sayang sang bapak tidak sedikitpun berkurang. Sama seperti orang tua yang lain. Bertumbuhnya usia sang anak kiti seakan tidak dirasa. Hingga ia membelikan sepeda untuknya bersekolah. Berbagai liku kehidupan dalam sebuah keluarga kecil itu terjadi. Hingga satu hari ia menyadari  sang anak kini telah tumbuh menjadi anak yang remaja. Ketika anaknya belum pulang sekolah padahal jam sekolah sudah terlewati sekian lama, perassannya kian menjadi kacau. Pada saat itu anaknya sekolah di sebuah SMP dengan waktu dimulai siang hari hingga sore hari. Anaknya tidak sendiri, ada 6 orang siswa lain kini yang mengayuh sepeda bersamanya.
Sore itu anaknya belum juga datang sekolah, hingga jarum jam menunjukkan angka 7 tanpa matahari terbit alias jam 7 malam. Perasaan gundah seorang ayah kini kian kuat. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran tersebut memiliki alasan yang kuat mengingat medan yang dilewati begitu terjal. Bagimana tidak, hutan sepanjang 6 Km mereka lewati setiap hari menjadi kekhawatiran setiap orang tua yang menyekolahkan anaknya disana. Tidak terkecuali bapak muda yang beranjak tua tersebut. Hingga melewati batas kegundahannya, bapak muda tersebut menunggangi sepeda Phoenix kesayangannya untuk memastikan apa yang terjadi pada anaknya.
“Bu, bapak menyusul anak anak dulu, kok jam segini belum juga sampe rumah” ucap sang bapak muda kepada istrinya yang juga semakin gundah.
“iy pak, cepat dipastikan anak-anak itu, kok belum juga pulang” ucap ibu muda yang tidak kalah gundahnya
Dengan sepeda tuanya yang dihiasi rasa gundah, sang bapak kini semakin kuat menggenjot pedal sepedanya hanya ingin memastikan putra kecilnya dulu. Dimana dia? Ada apa dengannya? Mengapa kini beum tampak dimatanya? Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya. Hingga ditengah perjalanan sang bapak menghentikan sepedanya dengan keringat bercucuran di kening tengah bayanya. Oh... alangkah sayangnya sang bapak kepada anaknya hingga setengah perjalanan ia memastikan keadaan si putranya. Setelah ditemui, keringat sang anak membuktikan bahwa rasa letih nya kian ada. Ternyata salah satu dari 6 sepeda anak tersebut tersebut mengalami putus rantai sepeda. Dengan modal setia kawan, kelima teman anak tersebut turut menuntun sepedanya. Termasuklah si putra bapak yang setengah baya tersebut.
Perasaan lega terpancar jelas di wajah bapak tersebut, kini tak ada lagi gundah dihatinya. Semua pertanyaan yang selama ini berkecamuk dikepalanya sudah terjawab. Perasaan senangpun kian muncul bercampur perasaan bangga melihat kekompakan yang muncul dari ke-6 anak manusia tersebut. Dengan santai sang bapak ikut menuntun sepeda tuanya hanya karena ingin melihat dan bergabung dengan kekompakan si anak. Dengan perasaan bangga sng bapak tersenyum dan bergumam dalam hati “syukurlah anak-anakku tidak kurang satu apapun”
Sampai dirumah sang bapak langsung menuju sumur dan  menimbakan air untuk anaknya mandi. Sungguh tanpa lelah ia menyiapkan segalanya. Dan ibu yang sedari tadi menyiapkan makan malam. Setelah mandi mereka makan malam dengan ditemani lampu neon sebagai media penerangan. Meskipun tertunda, namun makan malam mereka tidak kurang satu apapun, malah bertambah bumbu keharmonisan dalam keluarga kecil itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tibalah waktunya sang bapak kini harus melepas putra nakalnya. Bukan melepas ke hutan, karena itu memang dunia mereka. Namun kini harus melepas kekota. Sampai tanpa terasa sang putra kini tidak sendiri, hadir pula seorang putri kecil sebagai penghias rumah. Sebagai teman sang ibu untuk bercanda. Hingga ketika putra kecilnya dulu melangkah kan kai ke kota, mereka tidak terlalu kesepian.
Dalam kesehariannya sang bapak terus saja kekebun ladanya untuk sekedar membunuh waktu. Belum sewindu namun sudah rindu. Bapak yang dulu dengan sabar memapah putranya untuk belajar berjalan, kini tidak tampak lagi wajah kecil itu. Sampai pada satu hari ia menerima telpon dari sang anaknya
“Pak, sekolah meminta bapak untuk datang dalam pengambilan rapot” ucap putranya yang kini hanya terdengar lewat telpon.
“Kapan bang? Memangnya tidak bisa diwakilkan? Minta paman yang datang bisa tidak?” seraya mengajarkan kepada putrinya agar memanggi putra kecilnya dulu dengan panggilan abang.
“Minggu depan pak, kata kepala sekolah akan lebih baik orang tua sendiri yang datang” jawab sang putanya dengan sopan
“oohhh baiklah, diusahakan bapak datang yah” demikian sang bapak menjawab sambil menenangkan hati si putranya.
Bagai ditampar, kini sang bapak yang dulu masih muda, kini kian merasa tua. Jelas, karena kini juga ia menyadari kalau putra kecilnya dulu sudah beranjak dewasa. Ternyata saat ini dia sudah menduduki bangku kelas 3 SMK. Jelas sudah kalau usia bapak muda itu kini beralih semakin tua. 5 menit setelah berbicara pada anaknya ia sempatkan untuk merenung sambil bergumam
“ternyata putra kecilku dulu kini sudah beranjak remaja. 3 tahun sudah ia jauh dariku. Tak kulihat lagi tangisnya yang dulu. Pun begitu dengan tawanya. Bagaimana kabarnya sekarang? Masihkah kecil seperti tempo hari? Atau sudah lebih tinggi dari aku? Demikian gumamnya dalam hati.
Suatu pagi, matahari yang tidak juga muncul karena keangkuhan sang cuaca dan awan gelap. Benar saja, pagi itu begitu gelap, namun kapten kapal nelayan memberikan kode seakan jangkar siap diangkat. Sang bapak nekad untuk memenuhi panggilan sekolah untuk mengambil rapot anaknya pada besok hari. Dengan menumpang satu-satunya transportasi yang memungkinkan itu ia tetap memberikan senyum. Dermaga pulau pongok menjadi saksi betapa rasa rindu dan cinta sang bapak begitu besar terhadap putranya. Bukan tidak khawatir dengan ketinggian gelombang, namun cinta pada putranya melebihi kekhawatiran itu. Bukan tidak takut melihat ombak didermaga yang kian tinggi, namun rindu pada anaknya telah menyembunyikan pisau ketakutan itu.
Setelah meewati perjalanan laut kurang lebih 6 jam, dengan kepala pusing akhirnya ia tiba didermaga Tanjungpandan belitung. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kabar yang tak enak selama didalam kapal. Benar saja, diantara banyak penumpang kapal nelayan tersebut, ada seorang remaja putra yang mengalami pusing yang tak terhingga. Sampai pada titik puncaknya ia pun muntah diatas tubuh bapak tengah baya itu. Inginrasanya marah, namun remaja itu menginatkan ia pada tujuannya berangkat. Ia membayangkan wajah yang sekian lama tidak ia lihat. Wajah yang dulu sering ia ajak melihat burung kelayang didepan rumahnya. Oleh karena itu amarahnyapun redam dan berpura seolah tidak terjadi apa apa. Meskipun dari bercak kemejanya terlihat jelas oleh sang anak bekas muntahan seorang remaja putra.
Keesokan harinya, iapun pergi kesekolahan si putranya. Bedanya dulu ia yang membimbing putranya itu dan mengantarkannya dengan sepeda tua ketika SD. Sekarang kembali putranya memimpin langkah untuk menuju sekolah yang ia lihat baru baginya. Dulu putra kecilnya menggunakan seragam kerah putih, kini sudah beralih menggunakan putih abu abu. Sampai pada giliran nama putranya dipanggil, wajahnya sungguh sumringah. Mendapati nilai putranya yang kian memuaskan. Yaaahh... mungkin rasa rindu dan sayang atas putranya menjadi bumbu penyedap senyum atas nilai yang ada ditangannya.
Karena kebunnya kian dirindukan, serta ia megitu dibutuhkan oleh tanaman yang ada dikebunnya, iapun garus meninggalkan putranya dan kembali ke rumah. Sama seperti pergi, kembali pun ia menggunakan kapal nelayan yang kian semakin mengerikan untuk ditumpangi. Bukan karena rusak, namun cuaca memang kini sedang tidak bisa bersahabat. Gelap dilautan lebih menakutkan jika dibandingkan gelap di gunung. Yahh mengertilah maksudku.
Dan hari ini, tepat di gedung ini. Tempat dimana jutaan mahasiswa di wisuda. Tempat yang dulu dan hingga kini dikenal kota pelajar dan kota budaya. Ada seorang anak yang rindu akan ayahnya. 3 Maret 2015 pagi, putra kecil kesayangan sang bapak kini berada di antara ratusan manusia. Mengantri digedung Imigrasi Yogyakarta. Bisa ditebak bukan, orang pribumi berurusan ke kantor imigrasi. Yah... dia berdiri di line antrian dengan membawa status pemohon untuk penerbitan paspor. Putra kecil sang bapak dulu kini sudah berdiri dan tertunduk hormat dikota budaya ini. Bukan tentang mau kemana ia pergi dengan paspornya itu, namun tentang sebuah kenangan yang ada ditengah hujan angin kemaren.
Ditengah antrian yang kian memanjang, ada seorang bapak yang kian menua dengan menggendong putra kecilnya. Dengan penuh kasih sayang bapak dan anaknya berbicara
“Pak, itu burung apa?” tanya anak kecil itu.
“itu burung gereja” jawab sang bapak, dengan penuh kasih sayang dan pelukan
Pertanyaan yang sama juga bukan hanya sekali itu, namun berkali kali anak kecil itu bertanya. Sebanyak itu pula sang bapak menjawab dengan kasih sayang, tanpa memarahi anaknya sedikitpun. Sontak kejadian itu mengingatkan seorang anak yang kini rindu akan bapaknya. Mungkin kini tak semuda bapak itu. Yang pasti anakmu kini kian rindu.
Yogyakarta, 3 Maret 2015 oleh Yudhi Doank
__Bapak, anakmu kini kian jauh, mungkin kan menjelajah dan keluar dari negeri antah berantah ini. Cerpen ini didedikasikan untuk Bapak yang jauh disana. Putramu kian sayang dan rindu.

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news