Tinggalkan saja dimana dan apa kerjaanku saat ini. Pulang kampung,
adalah tradisi yang dipegang erat bagi mereka yang hidup merantau.
Belitung merupakan pulau dimana hati ini dilatih untuk menjadi perantau
sejati. Sejak SMA aku sudah tidak lagi seatap dengan dia yang melahirkan
ku. Ibu, sang malaikat tak bersayap yang nyata bukan layaknya peri
dalam dunia hayalan. Bapak, superman yang tanpa topeng, ia hanya
memiliki pacul tuk membangun sebuah atau dua buah ladang. Kuat bagiakan
Little Krisna. :-) ku yakin mereka telah menerima penghargaan dari alam
dimana mereka berkarya.
Sejak pertama kuliah, bapak dan ibu hanya membekaliku dengan sedikit
modal nekad. Bagaimana tidak, ketika dunia kerja sudah diambang mata,
kelulusan SMA sudah menjadi nyata. Tak disangka dan tak diduga tawaran
untuk menyambut bangku kuliah kini telah menjadi fakta. Sejak itu tak
ada kata dari bibir, hanya getar dalam hati, dengan sebuah kalimat tanya
"mimpikah ini?". Wajah letih bapak yang saat itu diselimuti semangat
untuk melihat anaknya memakai toga kini tepat didepan mata.
"mau kuliah dimana?" wajah itu bertanya layaknya tanpa beban.
"sebentar pak, saya tanya-tanya dulu" semangat yang bapak tularkan kini ada padaku.
"mau kuliah dimana?" wajah itu bertanya layaknya tanpa beban.
"sebentar pak, saya tanya-tanya dulu" semangat yang bapak tularkan kini ada padaku.
Tak lama berselang, aku harus memilih tempat kuliah yang pas. Jogja
merupakan pilihan tepat karena saat itu dan "kini" Jogja masih dikenal
sebagai kota budaya dan kota pelajar.
Sejak awal kuliah tekad ini sungguh kuat. Tak ayal semangat ini sering
menjadi pegangan mereka yang membutuhkan. Dalam hati berniat "aku harus
lulus tepat pada waktunya dan tidak pulang sebelum wisuda". Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga
tiba kini aku diujung lorong waktu dimana toga yang dulu bapak harapkan
siap dikenakan. Bahagianya tak kurang satupun sampai ku kabarkan 16
Agustus 2014 aku kan wisuda, setelah menjalani proses jatuh bangun
selama kurang lebih 4 tahun.
Kembali aku bertarung dengan sang waktu, berharap sebuah kajaiban
setelah terdengar sayup haru oleh angin pulau Pongok. Oh iya.. pongok
merupakan nama tempat dimana keluargaku menaruh hidup dan kehidupan.
Pelan pelan ku dengar keadaan keluarga yang yak memungkinkan untuk hadir
ditengah hari yang ku hitung tepat 4 tahun sejak duduk dibangku kuliah.
Senyum? sungguh tak lupa untuk hal satu itu. Mencari selimut untuk
sembunyikan sedih. Mencari hati tuk sembunyikan hati. Bagaimana tidak,
detik itu menderu semakin dekat hingga suatu pagi ku terbangun oleh riuh
gaduh tetangga kost yang siap siap ingin di wisuda. Ohhhhhhh ternyata
aku juga. :-). Dimana mereka? ku berlari menuju sebuah ruangan yang ku
ingat disitu ada keluargaku. Benar saja... ternyata keajaiban itu ada.
Disana ada keluarga yang hadir dan sedang bersiap hadir pada upacara
wisudaku. :-). "selamat datang" ku ucapkan seraya membuka tabir
kenyataan yang ku rias dalam mimpi semalam. Mereka keluarga memang,
namun bukan bapak atau ibuku. Tak apa, senyumlah selalu sebagaimana
pesan ibu.
Hitungan waktu kini semakin berada dalam dimensi terkecil. Bukan lagi bulan apalagi tahun. Kini hitungannya tinggal detik. Jujur saja sampai pada sedetik sebelum menaiki podium didepan rektor, aku masih berharap wajah itu hadir ketika membalikkan badan ditengah keramaian upacara.
Hitungan waktu kini semakin berada dalam dimensi terkecil. Bukan lagi bulan apalagi tahun. Kini hitungannya tinggal detik. Jujur saja sampai pada sedetik sebelum menaiki podium didepan rektor, aku masih berharap wajah itu hadir ketika membalikkan badan ditengah keramaian upacara.
Hmmmhhh sudahlah. aku mau mudik saja. Kembali menghitung mundur waktu.
Sejak diwisuda, tradisi mudik sudah hancur dalam diri ini. tak ada nama
pulang kampung (maunya). Sejak itu pula memutarkan otak tuk bertahan
dalam gemerlap kota Pelajar ku putuskan. Sampai pada 20 januari rasa
rindu ini mencapai puncaknya. Benar saja begitu banyak berbelit jalanku
untuk memutuskan pulang. Rasa takut terjebak nyaman dalam sebuah kampung
halaman menjadi penyebab. Bukan tak mau, hanya karena ku pahami area
dan "track record" disana.
"Bapak sakit"
Sejak itu tanpa berpikir ulang, ku berlari menuju agen sebuah maskapai.
Tepat besok pagi aku harus pulang kampung. Manambah rindu akan sebuah
raut wajah. Senandung rindu ini kian berkecamuk bercampur khawatir
terhadap malaikat tanpa sayap dan supermen tanpa topeng. :-)
"Pulanglah nak" sungguh itu membuat mata menangis.
_____Bu, anakmu pulang terlambat, tutup saja pintunya, namun jangan dikunci.
"Pulanglah nak" sungguh itu membuat mata menangis.
_____Bu, anakmu pulang terlambat, tutup saja pintunya, namun jangan dikunci.
No comments:
Post a Comment