Memang
Angin menderu tak berarti badai.
Tanyakan saja pada alam,
dimana kita?
Seandainya dipantai
Pastilah angin kan menderu,
karena angin menggesek laut luas dan ombak ada.
Hingar bingar ombak dipantai menjadi hal yang lumrah,
Jika tentram dan diam maka dihutan lah kita.
Tuhan, aku dimana?
Ketika aku sepi dalam keramaian.
Thursday, July 2, 2015
Wednesday, July 1, 2015
Rindu Tak Bertuan Tanpa Jilid
Rindu tak bertuan tanpa jilid. Pohon itu kian berbuah lebat dan besar, segar dipandang apalagi dipetik lalu dimakan. Begitu lingkungan ku kini. Hidup diantara kesegaran pepohonan yang kian tak terbatas. Hutan? bukan hutan, ini hanya perkebunan warga. Sungguh mulia hati seorang petani dimana proses mereka selalu dihadapkan dengan alam, lalu hasil taninya selalu dihaadapkan dengan manusia. ribuan bahkan jutaan manusia yang menikmatinya. Mungkin itulah sisi kehidupan para petani yang harus dijadikan teladan. pergi pagi dengan sepatu boat, baju yang cenderung kumal serta caping untuk menutupi sinar langsung matahari ketubuhnya. Ada apa dibalik semangat pak tani itu?
Mukmin, begitu namanya. Seorang pribumi kelahiran Pattani, Thailand sekitar 29 tahun silam. Kami berkenalan ketika pertama bertemu di masjid yang ada didekat rumah dinas tempat saya tinggal. Ketika itu kedatangan saya mengundang perhatian semua warga sekitar. Hukum alam memang, jika ada sesuatu yang baru pastilah akan akan menjadi titik perhatian, dan wajahku adalah wajah baru. Wajah khas Indonesia yang pas pasan namun cenderung agak keren dan kece kekinian. Mungkin ia kasihan ketika melihatku kebingungan ditengah bahasa yang tak senada dengan Indonesia. Dengan perlahan dia mengajak kuberbincang menggunakan bahasa melayu. Sebagian besar penduduk asli Pattani bisa berbahasa melayu karena letak perbatasan dengan Malaysia.
Ohhhh bukan itu yang ingin ku ceritakan, bukan asalnya, bukan bahasanya akan tetapi Satu kata darinya. yaitu Semangat. Ku ketahui beberapa hari belakangan ia adalah seorang petani karet dan juga tentunya petani berbagai macam buah buahan. Istrinya adalah seorang rekan guru di sekolah tempatku mengajar. Ia bercerita perjuangannya untuk mendapatkan istrinya tidaklah mudah mengingat tradisi yang ada di thailand ini semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan, semakin tinggi pula biaya pernikhan yang diminta (mahar). Istrinya adalah seorang Strata 1 atau (BA). Namun dia berkata, apalah daya ketika hati sudah memilih, membelah lautan demi menyusuri jejak sang Ayah seorang gadis akan dilakukan. Singkat cerita ia menikah dengan istrinya kini.
"Bulan berganti bulan, tahunpun kini berganti tahun, hidup kami semakin bahagia" Benar saja setiap hari kulihat mereka berboncengan sepulang dan pergi istrinya kesekolah. "Setiap hari saya ke hutan, kadang letih, lemas (ketika puasa) dan panas tentunya, tapi semuanya berbeda ketika saya sudah menikah, semua itu tidak terasa, karena setiap hari saya merasa ada yang menunggu saya pulang kerumah, jadi semangatnya berkali kali lipat yang saya dapatkan, dek".
"Sudah punya calon istri?" Sontak pertanyaan itu ditujukan kepada saya, sambil tersenyum saya tidak menjawab pertanyaannya. Saya hanya diam dan tersenyum meskipun pertanyaannya telah ia lakukan berulang ulang. "saya tau pasti sudah ada, sepulang dari Thailand, menikahlah, tidak ada yang perlu kau takutkan. Dulu duit saya habis untuk meminang saja, setelah menikah ada ada saja rejeki" kembali saya hanya tersenyum mendengar wejangan lelaki muda ini. Ketika kamu rindu dengannya, sekarang kamu akan tersiksa, karena tak ada tempat untukmu menaruh kerinduan itu. Namun ketika kau telah menikah, kerinduanmu akan terbalaskan, karena rindumu kian bertuan"
Serasa dicambuk, selama ini beberapa tulisan yang kubuat dengan judul Rindu Tak Tertuan. Mungkin secara bahasa ingin ku kaji mengingat kata "TUAN" memang berasal dari kata dalam bahasa melayu. Akan tetapi mengapa kata kata itu muncul seakan dia tau apa yang ada dalam pikiran lawan bicaranya. barangali benar rinduku sekarang memang tak bertuan. Semua ini masih tentangnya, Tuhan. Ampuni hamba telah membocorkan rahasia hati antara aku dan Kau.
Kini dia juga tidak tampak didepan mata, menghitung hari, ini adalah hari ketiga dalam hitungan manual. Entah sudah berapa Ton kerinduan yang terkandung. Milea, kau terbuat dari apa sih? apa iya terbuat dari segenap rindu yang kini belum waktunya ku jamah? Atau masih ada terbuat dari segumpal harapan untuk peranku nanti? Selamat siang Milea. :-)
Monday, June 15, 2015
RINDU
Dalam
Rupa wajah kian samar
Buram tak berbinar
Melebur jadi satu dalam gelap
Dalam mendung rantau yang tak beda
Kau tetap wanitaku
Wanita yang cakap tanpa dandanan
Setiap penaku digoreskan
Butir ingat tentangmu pasti ada
Meski dalam gelap dan kutulis meraba
Apa kabar Juwitaku nan jauh disana
Thailand, Summer 2015
Thailand, Summer 2015
Rindu Tak Bertuan
Bunda kutinggalkan dengan air mata
dan wanita pergi atas nama cinta
dan wanita pergi atas nama cinta
Rindu ini kian tak
bertuan.
Jogja, 30 maret 2015
Jogja, 30 maret 2015
Belum kering embun
semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika
bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang
tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena
hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian
tertutup pikiran kian melayang. Jauh tak
terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan
kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda
sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada
satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada
didepan mata.
Haramkah hadirku? Entahlah,
kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan
yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini
kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan
kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk
senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan
terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu
didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam
ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung
usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita
sama-sama tau.
Detik ini aku kian sadar,
mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin
rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun
ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa.
Tuan si rindu ini kian tak ada.
RINDU TAK BERTUAN (Sekilas perjalanan Indonesia-Thailand)
Jangan berteman dengan jarak dan
waktu jika takut berjumpa rindu. karena ia adalah anak dari keduanya –Yudhi
Doank—
Yogyakarta, ketika itu dan hingga
kini masih tetap menjadi kota istimewa. Entah dilihat dari sudut pandang yang
mana. Bukan karenaa susah dicari letak keistimewaannya, namun karena sulit
membedakan yang mana yang tidak istimewa dari kota itu. 4,5 tahun hidup
berdampingan dengan berjuta kenangan dikota budaya itu, sampai diri ini kian
tak ingat kampung halaman. Kota yang begitu istimewa, kota yang begitu
bersahaja serta kota yang kian menyiksa. Benar saja, hingga detik ini begitu
banyak sarjana diwisuda disana. Namun tak sedikit dari mereka terjebak indah
diadalamnya. Tersiksa bukan? Deraan yang datang dari orang tua untuk meminta
kembali. Deraan dari keluarga yang terus bertanya kapan pulang lagi. Deraan
dari tetangga yang mengatakan “kian lupa dengan kami”
Hujan malam itu kian deras,
butirannya kian tak terbendung oleh baju hujan yang umum dipakai pengendara
roda dua. Isyarat kasih tentang Jogja terukir ketika malam. Duduk berdua
diangkringan seraya menikmati sajian Mas Rudi sepertinya menjadi kebanggan
tersendiri. Pilihan tepat untuk mengukir sebuah kengangan memang tidak harus
mewah. Angkringan dan gelap malam telah membuktikan. Malam itu sebuah janji
untuk kain bersua dilayangkan. Berdiri termenung didepan kamar yang kini kian
kosong membuyarkan lamunan tentang satu nama angkringan. Teingat akan janji
menitipkan sebilah ilmu dalam bentuk buku. Dimana akan ku taruh? Bagaimana akan
ku titipkan? Kapan lagi waktu untuk ku berjumpa sang pemilik rindu? beribu
pertanyaan yang kian tak terjawabkan. Mungkin ruang sederhana kala itu bosan
melihat si empunya yang kian berjalan tak terarah. Turun naik, keluar masuk,
bahkan ngomong sendiri juga sepertinya dilakukan.
“jika tidak bisa malam ini, besok pagi pagi saja nitip bukunya” kalimat
yang kian menghancurkan malam. Ingin rasanya marah, namun sama siap? Marah sama
hujan? Alangkah bodohnya. Palang pintu rumah kost mungkin ikut menangis melihat
si empunya yang kian bersedih. Marah sendiri bukan solusi, menahan diri
sepertinya menyakitkan hari. Nekad? Yaaaa....
malam itu nekad keluar dengan memakai baju hujan bapak kost. Tanpa izin?
Tak mengapa, karena beliau begitu baik. “aku
kesana sekarang ya” isyarat bulan dalam hujan kian bersinar, karena
pantulan cahaya kota Jogja yang tak pernah padam. Ketika sampai pada satu
pintu, bibir kian tersenyum, meski lidah kian kelu dan kaki lelah menunggu. Memang
benar, bunga tak selamanya mekar dan indah, namun selama pohonnya hidup, akan
muncul bunga baru ketika musim bercumbu dengan waktu. Begitu pula dengan
kekesalan, tetap saja namanya kekesalan yang beradu dalam api menunggu yan,
diatas wajan rindu yang tak bertungku. Namun ketika bertemu wajah pemilik
rindu, sumua seakan sahdu, merdu bahkan kecewa pun kini enggan muncul dari raut
muka. Iya.. malam itu kami bertemu,
bahkan sampai pagi, hanya berbeda alam yaitu alam mimpi.
Pagi ini, kota indah nan istimewa
ini mengajarkanku arti keberadaan, arti meninggalkan, arti pertemuan serta arti
perpisahan. Wiwi –adik sepupu yang kian setia—mengirimkan pesan sebagai
pengingat bagiku untuk bangun pagi. “PING!!!
PING!!! PING!!!” pesan yang kian
mengandung multi tafsir. Namun itulah kemampuhan dari dunia tekhnologi. Pesan
itu mengisyaratkan bahwa harus bangun. Meskipun sedikit terlambat, niatnya
cukup ku apresiasi dengan sedikit berpura seakan aku bangun karena PING!!!
Darinya. 2 jam sebelum PING!!! Itu datang mata ini sudah kian melebar. Bahkan
badan kian wangi dan bersih.
“Waktu terasa semakin berlalu..
tinggalkan cerita tentang kita.....
akan tiada lagi kini tawamu..
tuk hapuskan semua sepi dihati...
tinggalkan cerita tentang kita.....
akan tiada lagi kini tawamu..
tuk hapuskan semua sepi dihati...
Alunan merdu suara ariel begitu
cocok dengan nuansa hening pagi ini. Semua benda seakan mati. Jarum jam
ditembok menunjukkan angka 8.50 yang artinya tinggal 3 ham lagi semua akan
berubah. Bukankah hidup ini begitu indah ketika menunggu apa yang diinginkan?
Sepertinya sangat tepat. Inilah mimpi yang kian ku tunggu sejak kelulusan
sarjana dulu. Hanya saja semua terhalang restu. Ibu, ia tidak begitu paham
memang tentang seluk beluk dunia, tapi satu bagian dunia yang begitu berarti
baginya yaitu anak. Namun satu pelukan sepertinya begitu ampuh untuk meminta
doa dan restu darinya. Kini sempat dilayangkan sepucuk surat pendek lewat
angin. Sepotong kasih dalam ucapan terimakasih. Seutuh sayang dalam rangkaian
kata. Namun kian tak berbalas.
Sedari bangun tidur hingga subuh,
begitu banyak pesan yang kian dilayangkan, namun kian tak berbalas. Beralih
kepada panggilan telfon, namun juga kian tak bisa. Yahh.. benar saja, ibu dan
keluarga memang tidak disampingku pagi itu, mereka ada diseberang dunia kecil
Indonesia. Dipulau yang kian kecil dan masih terpencil. Padang Keladi, Pongok,
yang merupakan pulau dimana mereka berada. Pulau yang mengandung banyak
penduduk namun dari berbagai mangsa. Bangsa manusia salah satunya. Detik itu
kini kan melaju, berpacu dan berbanding lurus dengan langkah kaki ini untuk
meninggalan alamat yang setengah palsu ini. Alamat kost, Jl. Perintis
Kemerdekaan, Gg. Mangga.
Kembali kepada pemilik rindu,
bukan hanya keluarga yang notaben
bapak dan ibu. Namun sesosok makhluk astral
yang anggun mirip ibu. Sembari resah
menunggu kabar dari ibu yang sedari subuh tidak bisa dihubungi, ingat akan
rindu semalam yang memberi wajah kian merdu.
Milea, aku pergi
“Kamu beneran ga bisa datang?”
sepucuk surat cinta berjenis elektronik kian melayang dengan sendirinya. Ajaib memang
(kata orang awam). Pagi ini, bersama seorang teman, kaki kami bertekad
melangkah namun bukan meninggalkan seperti yang ku katakan. Ternyata kini juga
belajar menitipkankan, belajar percaya dan yakin pada satu doa. Sungguh perjalanan
ini memang masih panjang. Kini hidup bagaikan dalam sebuah trowongan yang
gelap, namun percaya atau tidak, semua trowongan akan menemui ujungnya. Akan ada
setitik cahaya dalam sebuah kegelapan, bahkan dari kejauhan akan segera tampak
nantinya. Thailand, begitu manis kata itu untuk diucapkan. Namun masa itu
sangat sulit tuk ku bayangkan kalau pagi ini kami melangkah ke Kuala Lumpur,
malaysia untuk selanjutny menuju Thailand. Milea, pergi memang berarti
meninggalkan, namun dalam sebab akibat tentu ada makna lain. Pun begitu dalam
pelajaran bahasa, dalam sebuah bahasa terdapat antonim yang berkata “pergi dan
pulang”. Ku percaya sepenuhnya bahwa pergi pagi ini akan pulang disore hari,
entah tanggal dan bulan berapa.
Buyar lamunan selam diperjalanan
menuju Bandar Udara Internasional Adisucipto Yogyakarta. Semakin dekat kaki ini
melangkah, derupan suara kaki lain pun kian menggema juga. Mata tersadar
ditengah macetnya jalanan menuju Bandara. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt......
khas suara handphne yang kian batuk. “Incoming Call My beloved parents”.
Bibir ini tersungging membisu ditengah kemacetan jalanan. Sebuah percakapan
anak dan ibu kian menggebu. Perasaan sedih kian datang, perasaan senang juga
kian datang. Begitu indah percakapan yang mengisyaratkan kerinduan ibu dan
anaknya. Kini mata kian sadar bahwa kemacetan jalan kian terurai. Ternyata kedatanganku
dan teman satu ini menempati urutan terakhir.
Satu persatu dari mereka
berpamitan dengan keluarga, perlu diketahui bahwa kami terdiri dari 4 orang. Dua
perempuan dan juga dua lelaki. Kini berposisi sebagai leader dalam sebuah
perjalanan ku tempati, meski saling membantu, namun yang memiliki pengalaman terbang
bersama burung besi ketika itu hanya aku. Namun berbeda dengan arah atau rute
penerbangannya. Dua perempuan yang sejak dulu ku kenal tegar ini ternyata kian
menangis. Ketika peukan sang ibunya dirasa, tak ayal air mata mereka kian
mengalir. Wejangan dari berbagai hal
kian dilayangkan oleh masing masing orang tuanya. Ditengah kebersamaan mereka
yang kian erat. Di kelilingi banyak orang di pinggiran “departure area”. Seperti kampung kecil yang mereka miliki, isak
tangis sang bunda yang lembut hatinya kian bersuara. Bahkan satu dari lelaki
yang berstatus bapak mendatangiku. “Titip
Dina ya nak”. Ya bapak itu adalah lelaki tua yang tadi satu mobil menuju
bandara. “InshaAllah pak, doakan kami”.
Dengan senyuman mengembang khas seorang bapak, bisa ku tebak beliau adalah
bapak yang hebat. Melahirkan seorang anak yang begitu tegar, cerdas, bersahaja
serta memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni.
Kampung kecil ini kian sedih
ketika kulihat seorang teman lelaki memeluk sesosok lelaki tua yang juga
berstatus sebagai bapak. Satu persatu dari mereka mengulangi aksi yang
sebetulnya kubenci, yaitu memeluk orang yang mereka sayangi. Aaaau.... seorang
anak kecil berlari dan terjatuh, ketika itu kusadari kalau aku adalah lelaki
yang sedang iri dengan pelukan keluarga.
Tak ayal, pelupuk mata ini kian sulit menahan sebuah air suci yang datang dari
mata. Rindu ini memang semakin tak bertuan. Namun sedari lama ku sadari kalau
rindu memanglah makhluk paling kejam, karena aku kian berteman dengan jarak dan
waktu. Sampai kusadari kalau rindu adalah anak dari keduanya. Sedikit malu
untuk menahan tangis, dengan cepat ku hapus kering semuanya, namun pelupuk mata
mengisyaratkan berbeda. Tidak bisa bohong jika ia menampung air mata. Tidak bisa
dusta kalau peluuknya memerah dan berkaca.
Kulihat seorang bapak yang kian
manatapku tajam, entah karena iba dan kasihan. Mungkin juga karena marah
melihat diri yang kian berpura tegar. Mengingat check in telah dilakukan sedari datang ke bandara. Kini kami
dihadapkan dengan sebuah antrian panjang didepan ruang pemeriksaan imigrasi. Satu
persatu mendapat giliran, sampai pada urutanku yang menyerahkan paspor sebagai
dokumen dokumen resmi keberangkatan. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt..... getar
kali ini datang dari pesan blek beri. “aku
dijalan menuju bandara, sekarang kejebak macet”. Sungguh, bagai petaka
datang dsiang bolong. Ketika passport resmi di-cap petugas imigrasi, mengapa pesan itu baru kuterima? Apakah baru
kau kirim? Atau memang operator blek beri yang dendam padaku karena terlalu
sering mengatakan rindu padamu? Ah...... kini satu persatu barang bawaan
diperiksa dengan alasan keamanan. Dan kali ini, air mineral yang kubeli disita
oleh petugas imigrasi, jeruk yang didapat juga disita bahkan kecap pedas yang
kubeli juga ikut disita. Tak apa, mau diambil bajuku sekalian juga tidak
masalah. Yang ada dipikiranku kini hanya bagaimana bertemnu dengannya yang kini
berada dikerumunan motor dan mobil. Mungkin ia juga sedang berteriak meminta
ditunggu. Tapi Milea,... aaaahhhhh.
“Mas, tolong mas, izinin saya keluar bentar saja” percakapan alot
bersama petugas imiigrasi kian terjadi. “maaf,
paspor anda sudah di-cap yang berarti anda tidak boleh keluar ruang tunggu
lagi. Penerbangan anda 30 menit lagi mas”. Berbagai dara untuk merayu
petugas imigrasi dilakukan. Sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana raut
wajahku kala itu. Untuk yang kedua kalinya mata ini berkaca-kaca. Sangat
berharap ini adalah mimpi buruk dimana ketika bangun ada Milea disisiku. Ternyata
tidak, ini adalah kenyataan yang kian menyiksa. “Aku didepan area keberangkatan” bagai diserbu beribu derapan dan
langkah kaki. Seakan dipukul namun tdak bisa berteriak. Dipojok bilik imigrasi
mata ini kembali berkaca-kaca dengan berlahan. “maaf, aku tidak bisa keluar ruang tunggu lagi” dengan sangat
terpaksa pesan itu kukirim setelah benar benar putus asah. “ya sudah tidak apa apa, yang penting semoga
selamat sampai tujuan”. Berat untuk dipercaya, bahwa pertemuan dalam hujan
semalam adalah terakhir sebelum Keluar dari negeri antah berantah ini. “Sudah dipesawat ya? Aku dianjungan ini. Dari
sini hanya terlihat ekor pesawatmu. Hati hati dijalan. Kabari jika sudah sampai”
Milea, malam ini kutulis cerita
ini tidak seperti biasanya. Tidak ada rembulan, aku tidak diatas genteng. Namun inspirasinya
tetap satu. Kamu. Bulan mungkin sedang mencariku juga. Yang senantiasa bercumbu
dengannya. Bercumbu dengan kamar itu. Namun kini ternyata kita beda negara,
bukan lagi beda RT dan RW seperti kemaren. Hehehe selamat malam Milea, sudah
senyum?
....Aku di
sini dan kau di sana
Hanya berjumpa via suara
Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa
Hanya berjumpa via suara
Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa
Meski kau
kini jauh di sana
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati....
(RAN-Dekat Dihati)
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati....
(RAN-Dekat Dihati)
Wednesday, April 1, 2015
ANGIN DUTA SUARA
Kutitipkan laut, dia berombak
Kutumpukan angin, terbang melayang
Kusimpan bersama embun, kedinginan
Kulempar kematahari, terbakar
Bingung....
Bunga tak selamanya mekar
Pun begitu dengan senyum
Tak selamanya segaris
Bukan kisah Mahabarata
Apalagi Angling Dharma
Hanyalah gelisah akan satu rasa Apalagi Angling Dharma
Ini bukan kasih dalam bait puisi
Juga bukan cinta dalam kata kata
Ingin kubuang rasa rindu
Karena alamat dulu tak dapat dituju
Ohhh.... meski meraba, ternyata rasa masih dalam senyum mu
BALIK UNTUK TANGKUN
Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk.
Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa
burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna.
6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang
selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya
Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat
tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun
tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas
kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu
godaan.
Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal
wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari
kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang
biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun
(diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami
belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta
sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata.
Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan
arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi
bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun
setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai).
Punai
memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita,
harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan
dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-)
------Dikutip dari Novel "Jagoan Padang Keladi", Karya Yudhi Doank.
Didedikasikan untuk Padang Keladi dan kelima sahabat masa SMP (Mario, Ranu, Candra, Eko & Sunyoto) Yang kini sebagian dari kami entah dimana.
MILEA UDAH SENYUM?
Milea, dia bukanlah Mileaku 1990. Jika Pidi Baiq menuliskan Dilan, Dia adalah Dilanku 1990. Maka Yudhi "Belum" Baik ingin bercerita tentang Milea dijaman milenium. Yahhh... Milea, dia adalah Mileaku 2014. (Terimakasih om Pidi Baiq)
Belum sempat ku hirup kebingungan kota Jogja, raung keindahan kini
datang tanpa ku undang. Hehehe dasar aneh.... Pertama aku dikenalkan
dengan keistimewaan satu kota bernama Yogyakarta, ketika itu kalender
bilang sih itu tahun 2010. Yaaahh, 4 tahun yang lalu aku tertunduk
hormat dibawah naungan satu "matahari" di kota pelajar. Ibu bapak
membekali sedikit keberanian untuk melangkah mendekati peradaban,
setelah bertahun-tahun diam duduk dan termenung dalam peradaban lawas.
Entahlah.... apakah Jogja menyesal menerima kehadiranku, aku tidak paham
itu, yang pasti ku yakin ada beberapa makhluk yang berstatus sama
sepertiku yang tersenyum melihat kehadiranku, ibu kost misalnya yang
senyum karena menemukan anak kost yang -belum- baik dan polos. Ehhhh....
tambah lebar senyumnya ketika ku serahkan uang sewa kamar.
Alhamdulillaaaaah.....Loohhh dunia tidak memintaku untuk menceritakan
itu lebih jauh, meskipun banyak hal menarik yang ingin ku bagikan
tentang ibu Kost ku. haha.....
Milea... aku mengenal namanya lewat Novel "DILAN, dia adalah Dilanku
1990" tapi aku sudah melihat wajahnya ditahun 2010, yaaahh begitulah
Dunia yang tega menyiksaku menahan rindu pada orang yang belum ku kenal,
looohhhhh kok bisa??? Tau ah gelap haha
English for Tourism adalah matakuliah titipan Kampus yang diutus
memperkenalkanku padanya dan Eyang Nuri adalah makhluk ciptaan Allah
yang terindah karena telah memanggil namanya di presensi sehingga ketika
itu aku tau namanya KH2. Namanya indah..... ada kuadratnya.... tapi
kini aku lebih suka memanggilnya Milea.
***
***
Hai Milea, sudah senyum?hehehe.... dunia remaja sekarang pertanyaannya
terlalu biasa menurutku. "sudah makan? mandinya? hmmmm lagi ngapain
emangnya?" flat seperti meja bilyard... hmmmm mending flat tapi luas
kayak lapangan bola, kan bisa guling guling. hahaha.....
Tak terasa, anggap saja sekarang tahun 2011, modus untuk laki-laki
romantis sepertiku ternyata berlaku juga. Entah siapa yang memulai, aku
dan Milea ketika itu saling berbalas pesan singkat. Yang lain beralih ke
BBM, aku masih asyik dengan SMS.... maklum BBM sering langka,
loooohhhh.... hehe yaaahhh ketika itu HP Nok*a 5300 masih ku genggam
erat. Sebetulnya bukan nggak mampu beli yang baru sih, hanya kata saja
ibu bilang belum punya uang buat ganti HP baru. Huruf demi huruf, kata
demi kata kalimat demi kalimat hingga menjadi paragraf, kami saling
berbalas. Terus terang aku bingung, sihir apa yang membuat aku suka
padanya, padahal dia nggak cantik, hanya mempesona, dia nggak pinter,
hanya cerdas, lalu belakangan ini ku tau dia wanita yang kuat. Aku yang
dulu mengaku pujangga terus saja bergelut dengan gombal -gembel-ku.
sampai pada satu saat ku ajak dia bersepeda,
"hai.... nyepeda yuk, mau nggak" yaaah.... maklum nggak punya kendaraan, jadi Jogging saat itu lagi nge-trend dikalangan olahragawan cinta.
"hehe males... capek. aku juga banyak acara dikampus" ku tau ketika itu dia adalah bagian dari salah satu organisasi intra-kampus.
"ooohhh...." aku kehabisan kata-kata
"tapi boleh juga.... kamu lari,, aku pake sepeda, gimana?" aku nggak tau itu beranda atau bukan.
benar saja,... berselang beberapa detik, sms baru diterima
"hehehe becanda ih... kasian kamu capek nanti, kapan kapan lah ya" benar
saja... si becanda memang panjang umur, baru dibilangin dia udah
dateng. Makanya si "becanda" nggak mati mati sampe sekarang, sampai
sampai negeri ini juga jadi bahan candaan.
Dari percakapan itu, aku mendapat beberapa cambukan, salah satunya
cambukan karena rasa malu setelah mengetahui bahwa ia aktifis jurusanku,
sementara aku? aktifis juga sih.... iya... ketika itu aku mengepalai
sebuah lembaga yang bernama Jomblo Terhormat (lihat pekerjaan di profil
facebook-ku). Bagaimana tidak, meskipun tidak memiliki pacar, tapi
gebetan dimana-mana. Kayak ganteng aja. mau bilang kePeDean? terserah...
setidaknya ku yakin ibu sering bilang aku ganteng semasa kecil.
hehhe... Naah dari percakapan itu muncul semangat baru dan konsep baru
dalam berpikir. Setidaknya aku mau mendandani hari hariku selayaknya
mahasiswa beneran, bukan mahasiswa 3K (Kampus, Kantin & Kost).
Seketika terlintas dalam pikiranku untuk mencari jalan mendekatinya
lewat gaya ala mahasiswa. Ketika itu aku bergabung dalam sebuah
komunitas seni.
Dua tahun berjalan, hingga dalam detik keberapa, aku lupa tiba tiba
namanya hadir setelah beberapa saat redup di hidupku. Oh iya.... Angin
sempat menghembuskan berita tak sedap diterima telinga. Ketika
kesenjangan bergelantungan antara kami, ia ternyata dekat dengan
seseorang. Tak perlu kusebutkan namanya karena dia bukan tandingan
apalagi sainganku. Aku yang ketika itu acak-acakan --sekarang juga
masih-- sangat minder ketika mendengar namanya. Hingga satu waktu,
seperti biasanya entah detik keberapa aku lupa, ku beranikan untuk
mencari tau tentangnya.
***
Entah kebetulan atau tidak, 2014 menjemput warna kalender baru, warna
kehidupan baru, dan warna almamater baru (lulus kuliah). Ketika itu P3K
mengirimkan 4 orang temannya Milea untuk berproses bersamaku dalam
Praktikum. Seperti biasa, aku lupa detik keberapa dalam hari dan tanggal
berapa aku menjadi salah satu laki-laki dalam Team itu. Dengan sangat
terpaksa dunia memintaku untuk menjadi ketua setelah PPL dan KKN
menempati kursi yang sama. Sehingga adalah satu keharusan buatku untuk
mendekatkan diri pada mereka, begitulah teori minoritas yang berlaku.
Suatu hari naluri kelelakianku ditantang ketika mendengar keempat
temanku dan temannya itu berbincang tentang satu nama yang membuatku
pusing, stress tapi meningkatkan keingintahuan. Yaaaahhh... ku tau
ketika itu dia sedang menjadi ketua disalah satu komunitas.
Ahhh sudah laah.... aku mau kerja dulu.,......... hehehe Milea udah senyum??
IBU BAPAK DAN RINDU
Angin... bawa semerbak rindu buat ibuku sayang
Bawa padanya sejuta kata maaf
Berat memang....
Bulan, katakan pada Ibuku aku baik baik saja
Tak usah dijawab jika ia bertanya
Anakku "sedang apa?"
Cukup berikan senyuman, bukan air mata.
Ibu... Punai nakal yang dulu ibu rawat...
Kini tumbuh dan belajar terbang labuh..
Terimakasih telah, masih dan akan menjadi malaikatku
Tak usah risau, Bu.
Ombak.... salam senyum buat Bapak dan jala-nya
Bawa padanya seribu kata terimakasih
Berat memang....
Bintang, letakkan penghargaan di badannya..
Paksa jika ia tidak mau.
Karena dunia selalu ingat keringatnya
Ibu, Bapak.... malam ini anakmu pulang terlambat.
Tutup saja pintunya, tapi tak usah di kunci :-)
Bawa padanya sejuta kata maaf
Berat memang....
Bulan, katakan pada Ibuku aku baik baik saja
Tak usah dijawab jika ia bertanya
Anakku "sedang apa?"
Cukup berikan senyuman, bukan air mata.
Ibu... Punai nakal yang dulu ibu rawat...
Kini tumbuh dan belajar terbang labuh..
Terimakasih telah, masih dan akan menjadi malaikatku
Tak usah risau, Bu.
Ombak.... salam senyum buat Bapak dan jala-nya
Bawa padanya seribu kata terimakasih
Berat memang....
Bintang, letakkan penghargaan di badannya..
Paksa jika ia tidak mau.
Karena dunia selalu ingat keringatnya
Ibu, Bapak.... malam ini anakmu pulang terlambat.
Tutup saja pintunya, tapi tak usah di kunci :-)
MILEA DITELAN SENJA
milea menghilang.
Sejenak ku perhatikan jarum jam, terhenti pada satu detik dimana
ternyata rindu ini tak bertuan lagi. Ternyata aku kini sudah tak dalam
detik yang sama. Detik satu tak sama dengan detik dua, menit berganti
jam, jam berganti hari kini tak ada Milea disisiku. Bukan dimana? yang ku tanyakan, namun mengapa?
Entah mungkin rasa telah berbeda, mau yang tak sama dan mungkin juga
arah tak sejalan, tapi yang pasti Milea kini telah menghilang.
Milea dimana? kulihat indah foto nan ayu menempel didinding sebuah ruang
berukuran 3x3m yang sejak dulu hingga sekarang akrab disebut Kamar
Kost. Oh iya... perlu diketahui bahwa aku adalah seorang pensiunan
mahasiswa hehe. Hingga kini kehidupanku masih dihiasi oleh misteri 3x3.
Dengan dinding dan ornamen sederhana, berdebu serta tak terawat, ada
sebuah sebuah foto yang menempel dengan rapi. Kubersihkan setiap hari
dikala mentari menyinari hingga rembulan bernyanyi memintaku untuk
terlelap. Milea, itulah fotomu, dan fotoku juga tentunya. Milea dimana? sudahkah Milea lupa musim tak berbulan yang kita lewati? ku harap ini hanyalah sebuah Sinetron Indonesia
yang memiliki banyak liku dalam proses namun selalu memiliki Happy
Ending. Menikmati hidup ini tentu perlu inspirasi, sekecil apapun itu
inspirasi akan sangat berharga ketika sendiri, ketika tak dihargai,
ketika tak di ingini dan ketika kehilangan tanpa disadari.
***Milea Pergi***
Pergi, dalam KBBI berarti meninggalkan. Meninggalkan merupakan kata
kerja yang membutuhkan subjek. Tentunya objek yang ditinggalkanpun juga
ada. Milea kini ternyata tak hanya menjadi objek yang dijalankan oleh
Tuhan, namun juga menjadi subjek yang menjalankan rindu dalam derap diri
ini. Aku tak mengerti apakah ini namanya kehilangan, yang ku tau
tanpamu aku sepi.Bukan berarti setiap saat kita selalu berdampingan,
memang tidak sama sekali.
Seperti biasanya, aku selalu lupa entah detik keberapa, menit keberapa dan bahkan jam keberapa. Yang ku ingat hanya detik dimana Milea senyum dimalam itu menggantikan bulan yang tertutup awan. Mungkin sedikit redup ketika itu, tak apa yang penting kau ada. Ketika malam sudah berkuasa, dingin menjadi raja, embun bersiap menyambut mesra dan diri mulai tak terjaga, Milea datang membawa sebongkah rindu. Sejenak kemudian dia menghilang tanpa meninggalkan tanda apalagi jejak. Detik itu ku sadar ternyata rindu yang ia bawa sudah tak bertuan lagi. Ahhh, bukan kah rindu itu dibawa oleh tuannya sendiri? Ternyata bukan, hanya saja dunia terlalu egois mengirimkan bidadari pembawa rindu, jika akhirnya bidadari itu digrogti sang waktu. Bukan salah Milea selaku bidadari, hanya sang waktu dan pemiliknya lebih berkuasa. Bingung memang mengartikan dunia melalui cerita ini, karena pada saat cerita ini ditulis dunia memang tak memiliki arti.
Dalam suatu pagi, seandainya --mendekati iya-- datang makhluk luar angkasa bernama rindu, maka kan ku gantung dan ku ternak dia dipelopak mata, meskipun tak nyata, setidaknya ia selalu terasa disetiap kedipan mata. Setiap satu, akan beranjak menjadi dua, begitu juga harapanku setiap rindu akan beranjak menjadi jumpa. Milea, jangan pergi dariku. Kalau mau pergi sekarang saja. Kutunggu diruang rindu, kunanti dalam hati, jangankan mulai pagi ini, malampun ku mampu. Meskipun dingin yang penting ku tak beku.Tapi jangan harap kau bisa pergi lagi. GUBRAAAAKKKK... ternyata aku lagi bermimpi. Pagi ini tepat di Lowanu tempat ku bekerja, ku cari Milea. Ternyata dia sudah benar-benar pergi.... Capailah kebahagiaanmu, jangan pikirkan aku. Aku akan baik baik saja. Selamat jalan Milea, jika ada waktu, mampir keruang rindu kita berdua, buatlah satu menjadi dua. Dari aku ataupun kamu menjadi KITA.
Gersang, panas, gerah.... tak ada kata untuk menggambarkan betapa tak bersahabatnya dunia ini. Suara palu berkelahi dengan paku menghiasi ruang kerja, karena sebelah ada perbaikan. Milea, tak banyak permintaanku, cukup memberi kabar lewat angin. Pernah ku berdialog dengan sejuta makhluk yang tak terlihat oleh mata, yaitu sayang, rindu, cinta, kepedulian, kecemasan, kasih sayang dll, entahlah.... padahal semua itu merupakan kata benda dan kata sifat. Tapi semua itu kini tak tampak apalagi dirasa.
Tuhan, terimakasih atas kuasamu.... aku lupa detik yang keberapa, seperti biasanya. Milea sudah senyum? Ku yakin dia tersenyum lebar.
Seperti biasanya, aku selalu lupa entah detik keberapa, menit keberapa dan bahkan jam keberapa. Yang ku ingat hanya detik dimana Milea senyum dimalam itu menggantikan bulan yang tertutup awan. Mungkin sedikit redup ketika itu, tak apa yang penting kau ada. Ketika malam sudah berkuasa, dingin menjadi raja, embun bersiap menyambut mesra dan diri mulai tak terjaga, Milea datang membawa sebongkah rindu. Sejenak kemudian dia menghilang tanpa meninggalkan tanda apalagi jejak. Detik itu ku sadar ternyata rindu yang ia bawa sudah tak bertuan lagi. Ahhh, bukan kah rindu itu dibawa oleh tuannya sendiri? Ternyata bukan, hanya saja dunia terlalu egois mengirimkan bidadari pembawa rindu, jika akhirnya bidadari itu digrogti sang waktu. Bukan salah Milea selaku bidadari, hanya sang waktu dan pemiliknya lebih berkuasa. Bingung memang mengartikan dunia melalui cerita ini, karena pada saat cerita ini ditulis dunia memang tak memiliki arti.
Dalam suatu pagi, seandainya --mendekati iya-- datang makhluk luar angkasa bernama rindu, maka kan ku gantung dan ku ternak dia dipelopak mata, meskipun tak nyata, setidaknya ia selalu terasa disetiap kedipan mata. Setiap satu, akan beranjak menjadi dua, begitu juga harapanku setiap rindu akan beranjak menjadi jumpa. Milea, jangan pergi dariku. Kalau mau pergi sekarang saja. Kutunggu diruang rindu, kunanti dalam hati, jangankan mulai pagi ini, malampun ku mampu. Meskipun dingin yang penting ku tak beku.Tapi jangan harap kau bisa pergi lagi. GUBRAAAAKKKK... ternyata aku lagi bermimpi. Pagi ini tepat di Lowanu tempat ku bekerja, ku cari Milea. Ternyata dia sudah benar-benar pergi.... Capailah kebahagiaanmu, jangan pikirkan aku. Aku akan baik baik saja. Selamat jalan Milea, jika ada waktu, mampir keruang rindu kita berdua, buatlah satu menjadi dua. Dari aku ataupun kamu menjadi KITA.
Gersang, panas, gerah.... tak ada kata untuk menggambarkan betapa tak bersahabatnya dunia ini. Suara palu berkelahi dengan paku menghiasi ruang kerja, karena sebelah ada perbaikan. Milea, tak banyak permintaanku, cukup memberi kabar lewat angin. Pernah ku berdialog dengan sejuta makhluk yang tak terlihat oleh mata, yaitu sayang, rindu, cinta, kepedulian, kecemasan, kasih sayang dll, entahlah.... padahal semua itu merupakan kata benda dan kata sifat. Tapi semua itu kini tak tampak apalagi dirasa.
Tuhan, terimakasih atas kuasamu.... aku lupa detik yang keberapa, seperti biasanya. Milea sudah senyum? Ku yakin dia tersenyum lebar.
HUJAN DAN PERTEMUAN TERENCANA
Oleh: Ikmi Nur Oktavianti
Betapa kami mengagumi hujan,
Pecinta di atas bumi,
Dengan senyum mengembang dari wajah peresih,
Kami sambut setiap tetes yang mengenai kulit ari
Seperti belaian lembut yang menyeka tiap peluh kehidupan yang terperi
Dan mengenai helai-helai rambut kami
Bak seorang bayi dilangir seorang inang yang penuh kasih
Dan tetesnya yang mengenai bumi, beriringan,
Seperti para biduan yang mendendangkan lagu-lagu, beranggap-anggapan
Ah, kami mulai paham
Seperti telah terjadi persekutuan hati, langit dan bumi
Seperti ada pertemuan terencana, atau juga janji keduanya.
Maka lagi malam ini kami menelusur jejak hidup, menelusur perjumpaan terencana malam ini
Dengan temaram lampu kota di kanan kiri
Angin mulai digagahkan, dingin mulai diselimutkan di selingkup atmosfer
Supaya beroleh rintikmu mengunjungi bumi
Padahal baru kemarin kalian berbagi sapa, lewat pesan rahasia
Dan hujan yang tiada kunjung reda
Ketika kecup tulusmu menyentuhnya,
Bumi berkata: “lekas engkau datang!”
Meski masygul rasa hati
Karena petrichor yang tersesap masuk ke lubang hidung
Menyeruak dari pori-pori tanah bagaikan bunga selasih kayalnya
Memabukkan
Suatu perasaan yang tidak mungkin dinafikkan
Dan kami ini,
Para pecinta di atas bumi
Turut bersuka atas cinta yang tersampaikan, atas rindu yang tersalurkan, meresap hingga ke dalam
Hingga nyaris tengah malam,
“Telanjuran”, kata bumi
Memang benar adanya
Percumbuan yang berlangsung begitu lama, mesra
Malam pun merasa tersakiti, dikhianati oleh bumi yang tiada mau peduli
Memohon bulan berhadir, pula bintang lekas melepaskan diri
Hingga terdengar oleh keduanya,
Pertanda percakapan hati harus diakhiri
“Esok aku akan kembali” kecup lembut hujan pada bumi, membawa pesan terakhir langit hari ini
Perlahan… kecup cinta dilepaskannya dari bumi, ditariknya
Meski berat, tetap ditariknya.. sembari mengempaskan segala rasa..
Dan hujan pun undur diri, menyibak kumpulan awan,
Bulan bintang terlepas dari himpitan, bercahaya menawan.
Dan kami ini,
Para pecinta di atas bumi
Menjadi bagian dari percintaan, tengah malam ini,
Tak peduli dingin yang menggerayangi persendian
Karena hujan mampu menerjemahkan perasaan,
Dari langit untuk bumi yang belum tersampaikan
Karena setiap tetesnya sarat makna perjumpaan teramat sayang untuk ditumangkan,
terlebih diabaikan
Tiap tetesan yang membawa pesan cinta tersembunyi
Yang hanya mampu dipahami bumi.
Betapa kami mengagumi hujan,
Pecinta di atas bumi,
Dengan senyum mengembang dari wajah peresih,
Kami sambut setiap tetes yang mengenai kulit ari
Seperti belaian lembut yang menyeka tiap peluh kehidupan yang terperi
Dan mengenai helai-helai rambut kami
Bak seorang bayi dilangir seorang inang yang penuh kasih
Dan tetesnya yang mengenai bumi, beriringan,
Seperti para biduan yang mendendangkan lagu-lagu, beranggap-anggapan
Ah, kami mulai paham
Seperti telah terjadi persekutuan hati, langit dan bumi
Seperti ada pertemuan terencana, atau juga janji keduanya.
Maka lagi malam ini kami menelusur jejak hidup, menelusur perjumpaan terencana malam ini
Dengan temaram lampu kota di kanan kiri
Angin mulai digagahkan, dingin mulai diselimutkan di selingkup atmosfer
Supaya beroleh rintikmu mengunjungi bumi
Padahal baru kemarin kalian berbagi sapa, lewat pesan rahasia
Dan hujan yang tiada kunjung reda
Ketika kecup tulusmu menyentuhnya,
Bumi berkata: “lekas engkau datang!”
Meski masygul rasa hati
Karena petrichor yang tersesap masuk ke lubang hidung
Menyeruak dari pori-pori tanah bagaikan bunga selasih kayalnya
Memabukkan
Suatu perasaan yang tidak mungkin dinafikkan
Dan kami ini,
Para pecinta di atas bumi
Turut bersuka atas cinta yang tersampaikan, atas rindu yang tersalurkan, meresap hingga ke dalam
Hingga nyaris tengah malam,
“Telanjuran”, kata bumi
Memang benar adanya
Percumbuan yang berlangsung begitu lama, mesra
Malam pun merasa tersakiti, dikhianati oleh bumi yang tiada mau peduli
Memohon bulan berhadir, pula bintang lekas melepaskan diri
Hingga terdengar oleh keduanya,
Pertanda percakapan hati harus diakhiri
“Esok aku akan kembali” kecup lembut hujan pada bumi, membawa pesan terakhir langit hari ini
Perlahan… kecup cinta dilepaskannya dari bumi, ditariknya
Meski berat, tetap ditariknya.. sembari mengempaskan segala rasa..
Dan hujan pun undur diri, menyibak kumpulan awan,
Bulan bintang terlepas dari himpitan, bercahaya menawan.
Dan kami ini,
Para pecinta di atas bumi
Menjadi bagian dari percintaan, tengah malam ini,
Tak peduli dingin yang menggerayangi persendian
Karena hujan mampu menerjemahkan perasaan,
Dari langit untuk bumi yang belum tersampaikan
Karena setiap tetesnya sarat makna perjumpaan teramat sayang untuk ditumangkan,
terlebih diabaikan
Tiap tetesan yang membawa pesan cinta tersembunyi
Yang hanya mampu dipahami bumi.
DIUSIR CANTIK
Sungguh hujan dan angin menjadi satu,
Petir dan kilat menjadi pelengkap rindu,
Malam nanti ia berjanji tuk kembali,
Sekedar meneguk haus dari luar jangkauan imajinasi,
Rindu ini milik siapa?
Meski ada tanda tanya, namun tak butuh satu jawaban,
Ohhhhh maaak, temaram hancur ditikam angin malam.
Berjalan menelusuri jejak yang rapuh,
Ditengah hujan dan dingin, kilat dan petir
Berhenti didalam lorong gelap,
Hanya untuk sekedar bersujud dan mengadu,
Berteriak, aku rindu,
Kedinginan, menggigil, kebingungan,
Ooohhhhh ternyata.......
Aku telah diusir cantik oleh kota Jogja,
Meskipun kemaren kita baru jumpa,
Kemaren kita menatap senja,
Melawan sang waktu,
Bermanja dengan sang rindu,
Milea,.....
Lupakah kamu dengan amarah sang malam,
Ketika kita diperangi kedinginan,
Waktu...
Maafkan kami telah membunuhmu,
Malam...
Jangan marah hanya karena kami terlambat pulang,
Rindu...
Bangunkan semangat baru untuknya dan untukku,
Ohhhhh... aku kan akan menjadi sang perindu,
Antara Kau, ibu dan dia.
Buat ibu,
Anakmu kini bukan hanya anakmu,
Sudilah kiranya anakmu berbagi rindu,
Pada wanita anggun sepertimu,
Pada sebuah senja di bukit itu,
Senja kota, bawa dia kepelukanku
Nanti.
Diusir cantik,
Jogja, 02 Oktober 2014
Petir dan kilat menjadi pelengkap rindu,
Malam nanti ia berjanji tuk kembali,
Sekedar meneguk haus dari luar jangkauan imajinasi,
Rindu ini milik siapa?
Meski ada tanda tanya, namun tak butuh satu jawaban,
Ohhhhh maaak, temaram hancur ditikam angin malam.
Berjalan menelusuri jejak yang rapuh,
Ditengah hujan dan dingin, kilat dan petir
Berhenti didalam lorong gelap,
Hanya untuk sekedar bersujud dan mengadu,
Berteriak, aku rindu,
Kedinginan, menggigil, kebingungan,
Ooohhhhh ternyata.......
Aku telah diusir cantik oleh kota Jogja,
Meskipun kemaren kita baru jumpa,
Kemaren kita menatap senja,
Melawan sang waktu,
Bermanja dengan sang rindu,
Milea,.....
Lupakah kamu dengan amarah sang malam,
Ketika kita diperangi kedinginan,
Waktu...
Maafkan kami telah membunuhmu,
Malam...
Jangan marah hanya karena kami terlambat pulang,
Rindu...
Bangunkan semangat baru untuknya dan untukku,
Ohhhhh... aku kan akan menjadi sang perindu,
Antara Kau, ibu dan dia.
Buat ibu,
Anakmu kini bukan hanya anakmu,
Sudilah kiranya anakmu berbagi rindu,
Pada wanita anggun sepertimu,
Pada sebuah senja di bukit itu,
Senja kota, bawa dia kepelukanku
Nanti.
Diusir cantik,
Jogja, 02 Oktober 2014
ANAK GUNUNG RITANG
***Gedung Sekolah***
Matahari pagi mengintip mesra menyambut makhluk titipan Tuhan yang ada
dibumi, Seorang anak desa terpencil merupakan salah satu dari jutaan makhluk
tersebut. Beranjak menuju Gedung Reok adalah rutinitasnya ketika matahari
menyapa. Oh iya sobat, namanya
Yudhi. Ia merupakan
seorang anak yang dilahirkan di salah satu dusun yang amat terpencil
dari
sektor apapun yakni Dusun Padang Keladi ---bukan berarti tanah
yang hanya di tumbuhi tanaman “keladi” yang berarti Talas dalam bahasa
setempat--- namun demikian bukan berarti ia tertinggal sepenuhnya.
Didikan organisasi
sederhana itu membuatnya mengantongi sedikit keberungtungan dibandingan
teman-teman
sebaya yang ada di desanya. Kini dia merupakan satu-satunya utusan
perwakilan
pemuda desa yang berdiri hormat di kota budaya ini. Di keluarga inilah
tempat
yang ramai baginya saat itu meskipun sejatinya hanya terdiri Ayah, ibu,
dia dan
juga kedua adiknya. Namun kini semua suasana yang dulu ia temukan dalam keluarga itu telah berubah
dari semula rumah yang ramai kini berganti kostan yang ramah.
Pada tahun 1992, ia dilahirkan, tepatnya tanggal 22 november 1992.
Seperti di atas, dia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Detik berganti
menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bulan berganti tahun hingga tidak terasa manusia kecil itu kini
telah tumbuh menjadi anak-anak. Memasuki usia sekolah, tahun 1998 dia di
daftarkan untuk menjelajah gedung kecil yang di bernama sekolah, ketika itu di
Padang keladi hanya merupakan sekolah filial yang masih menginduk pada desa Pongok. Pagi tiba,
di hari pertama sekolah ia di dandan seolah anak perempuan yang ingin lomba
menari. Ketika itu teman kelas nya pertama
terdiri dari 6 siswa, disana mulai terlihat gaya mereka seperti anak STM karena
tidak ditemukan wajah anggun diantara wajah sangar mereka yang sehari-hari
memegang peletik[1].
Awan cerah dipagi hari mengiringi embun dingin nan sejuk. Berjalan
dijalanan yang becek merupakan surga bagi beberapa anak di desa tesebut. Pun
pagi ini sama dengan hari kemaren, meskipun matahari mengintip mesra namun sisa
hujan semalam masih tergenang layaknya tumpahan air yang tak diterima bumi
secara keseluruhan. Beberapa hari sekolah, tidak selayaknya siswa yang ada di
kota yang merupakan lulusan TK, sehingga butuh perkenalan, kami disini terdiri
dari 6 anak dalam satu kelas yang sejak dari lahir telah mengenal satu sama
lain. Pada suatu pagi, layaknya sekolah yang lain, kegiatan pertama selain
memperkenalkan diri mereka juga diminta
maju satu-persatu untuk mendendangkan sebuah lagu yang mereka hafal. Ketika 5
orang anak telah selesai, maka tibalah satu nama yang terakhir yakni Alex
Candra, pada saat berada di depan kelas, ia sungguh berbeda dengan Yudhi dan
temannya yang lain, ia bukan menunjukkan suara merdunya, namun ia menunjukkan
wajahnya yang memerah hingga mengeluarkan butiran air mata. Sungguh tak
disangka, seorang anak yang telah akrab dengan alam liar itu menangis hanya
karana disuruh menyanyi di depan kelas.
“Alex, sekarang gilran kamu yang
terakhir, silahkan maju kedepan” pinta pak guru yang akrab dipanggil pak
Jun, nama lengkapnya yaitu Junaedi, yang tak lain adalah tetangga terdekat Alex
Chandra.
Alex Candra maju kedepan papan tulis dengan ekspresi yang tak bisa
dibaca, tanpa sepatah katapun yang
keluar dari bibirnya. Hingga 5 menit kemudianpun ia tetap membisu secara suara
dan ekspresi. Keadaan tersebut membuat kelima temannya bingung sekaligus
tertawa.
“Can, la kuang beehh nyanyi, lete
neh kamek nunggu e”, ucap Sunyoto.
“Die agik mace du’e itu toooh”
sambut seorang teman yang bernama Mario.
Tiba-tiba suasana hening melihat air suci membasahi pipi putih nan mulus
Alex, ohhhh ternyata ia menangis dikarenakan kekurangan asupan percaya diri.
“Pukok e kau harus nyanyi Can,
kamek semue lah uda nyanyi e, terserah lagu ape nak e, yang penting kau harus
nyanyi” sambung seorang teman bernama Ranu sambil terbata.
“Iye Pak, lagu Cong Mak Ilong[2]
kuang ke Pak?” Tanya Alex kepada Pak Jun.
Kini suasana berubah, Pak Junaedi
yang akrab dipanggil pak Jun justeru yang bingung atas permintaan Alex Candra,
karena hingga sekarang lagu Cong Mak Ilong tak terdaftar sebagai lagu Daerah
apalagi lagu Nasional. Tanpa menunggu jawaban dari Pak Jun, Alex Candra
langsung mendendangkan lagu tersebut dengan suara merdunya bak botol siisi
pasir atau bebatuan kecil.
Cong mak ilong
Mak Ilong gaga batu
Dimana kucing belang
Disitu rumah hantu
Suasana sepi bagai rumah tak berpenghuni yang dipenuhi suara Jangkrik.
Namun tiba-tiba, tanpa basa basi Alex Candra menyunggingkan senyuman yang
merubah mendung dan hujan menjadi cerah layaknya kulitnya yang putih seperti
keturunan China. Serentak kelima temannya bertepuk tangan atas keberhasilannya
melewati tantangan terberat yang pernah ada dalam hidupnya.
***Air Sinsa***
Tidak lengkap rasanya jika seorang siswa kelas 1 SD berangkat kesekolah
tanpa adanya bekal. Begitu juga dengan sekelompok siswa kelas 1 yang
terdiri
dari setengah lusin tersebut. Layaknya sekolah ditengah kota, merekapun
membutuhkan bekal baik makanan dan minuman. Namun demikian makanan
bukanlah hal
yang wajib bagi mereka, karena itu bisa mereka dapatkan di lingkungan
yang tak
asing bagi mereka yakni hutan. Hutan dianggap sebagai restauran yang
menyediakan banyak menu makanan bahkan jauh lebih lengkap dari restauran
sekalipun.
Bakat menjadi sekelompok pengusaha yang kreatifpun mereka tekuni dengan
menciptakan minuman warna baru. Jika hari-hari mereka hanya minum
minuman yang
berwarna bening, maka pagi ini mereka telah menciptakan inovasi baru
dalam
kemasan yang lusuh dan berantakan. Layaknya kemasan minuman masa kini
yang
memiliki gas dan berwarna. Kini mereka tertarik untuk mencoba melakukan
penemuan dengan membuat minuman dari pewarna. Adapun pewarna yang mereka
gunakan berbahan dasar sinsa, namun demikian mereka menambahkan sedikit
gula
untuk menambah rasa manis dalam minuman meraka. Kekompakan dan
kemandirian
telah mereka dapatkan sejak lama. Ditengah abad yang serba ada begini
sebetulnya mereka tidak heran jika bertemu dengan minuman sejenis dengan
kemasan yang lebih rapi.
***Balik Untuk Tangkun***
Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit
Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi
jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong
mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak
manusia berstatus layaknya Little Krisna.
6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama
ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang
kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta
tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak
berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena
kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena
kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga.
Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan
hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun
(diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum
terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan
penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai
kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini
berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah?
iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan
penggoda iman (Punai).
Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja
setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang
tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-)
Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win
Make Money at : http://bit.ly/copy_win
Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win
Make Money at : http://bit.ly/copy_win
***Perpisahan***
bertahun lamanya ia berjuang jauh dari keluarga, terbayang jelas sosok
perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus petani, seorang
laki-laki setengah tua namun masih gagah yang berprofesi sebagai seorang petani
sekaligus nelayan dan dua anak kecil perempuan yang pintar dan jelita. Itulah
keluarga nya yang ia tinggalkan kini. Tetapi dimatanya mereka bukan petani
apalagi nelayan, mereka semua adalah pahlawan karena profesi itu telah menghantarkannya berdiri tegak didepan Perguruan Tinggi serta
tertunduk hormat diatas kota ini.
Setahun yang lalu, terlukis jelas wajah lugu seorang ibu dengan kesederhanaannya
yang menghantarkannya menuju bandara dan tidak lupa dua orang anak kecil
perempuan yang tak lain adalah adik kandung nya. Saat itu salah satu pahlawan
nya tidak ikut serta dalam momen disiang itu. Dengan wajah gembira yang
menutupi kesediah perpisahan mereka tunjukkan itu tak lain merupakan karena itu
hari pertama mereka melihat pesawat terbang secara langsung. Bahkan sejatinya
salah satu adiknya merupakan hari sekolah seperti biasa, namun ia memilih untuk
memupuk air matanya dilantai bandara saat melihatnya terbang ke kota. Ribuan nasihat
yang mereka berikan padanya, namun satu pertanyaan yang muncul dari mulut siswa
kelas 4 SD yang tak lain adalah adiknya sendiri...
“bang ngape disetiap bahasa ade
kosa kata menangis...?”
Terdiam sejenak ia untuk berfikir... namum belum sempat terjawab iapun
berkata lagi..
“karne disanak juak ade kate
tertawa”
Ia tertawa seakan melecehkan kata-katanya itu.. lalu ia bertanya..
“maksudnye ape itu Ka..?” Oh
iya nama adik nya itu Antika, jadi panggilan pedek ia padanya “ka”. Sedangkan
adiknya yang satunya berumur 2 tahun dan namanya Agustri.
“menangis toh lambang sedih, susah payah, sedangkan tertawa itu lambang
bahagia, jadi abang jangan takut susah payah karene kelak pasti ade bahagie” kata-katanya begitu bijak bukan,,..?
Sejenak ia terdiam dalam lamunan,
sisa detik-detik perpisahanpun mereka habiskan dengan bercanda sesekali
merenung karena ingin segera berpisah. Detik berganti menit, hingga tanpa terasa pesawat akan segera “take
off” namu sebelum masuk tangis perpisahan menghiasi perjalanannya, tak lain
adalah siswa yang begitu bijak namun kini menangis tersedu-sedu. Hingga ia
sadar ternyata adiknya begitu sayang padanya meskipun hari-hari mereka tak
lepas dari perselisihan. Namun itu tak mengurangi rasa sayang nya pada adiknya
itu.
Sobat... ketahuilah saat itu
merupakan pertama kalinya ia berada dalam pesawat. Hingga berlahan waktu
berganti, kabut yang menutupi pulau belitung kini berganti kepulau jawa. Dengan
tekat yang kuat tibalah ia di jakarta bersama tetangganya yang sama-sama menuju
ke Jogja.
***SOETTA***
Sedang asyik menikmati
pemandangan hidup di sekitar bandara Soekarno Hatta, tiba-tiba HP butut nya berdering
setelah beberapa saat ia matikan. Dengan sedikit rasa kaget bercampur rasa malu
karena bunyinya sungguh jauh berbeda dengan HP orang-orang zaman sekarang
hehehehehe... tak lain adalah panggilan dari
ibunya.........
“assalamua’laikum” panggilan ia jawab dengan sedikit canggung di
antara ratusan orang yang memiliki wajah modern masa kini.....
“waalaikumsalam” iapun
mejawab.
“Agik dmane...?” ibunya
bertanya lagi.
“di bandara mak..... kini baru nelpon
y....” singkatnya ingin metutup
telpon ibu dari ibunya.
“oh iye lah mun gitu seh, kini
nelpon e mun lah sampai jogja ye, assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam”
Jujur saja waktu itu kepalanya masih terasa
pusing karena ayunan ombak yang ia rasa saat di pesawat. Tak kuasa ia menahan
lapar setelah beberapa saat menunggu pesawat menuju kota tujuannya yaitu
Jogjakarta. Akhirnya ia memilih untuk membuka bekal yang di sediakan oleh
ibunya yang sejak subuh dipersiapkan khusus untuk seorang putra yang kini
terbang meniti jembatan masa depan yang sulit diperkirakan. Oh iya sobat perlu
diketahui bahwa ia terbang hanya ditemani 1 tas tang bertuliskan ”BANGKA
BELITUNG’’ yang tak lain adalah pemberian seorang ATLET nasional yang tak asing
lagi baginya. Namun tas tersebut berada didalam bagasi pesawat sedari tadi.
Namun kini yang ada dihadapannya yang ia gunakan untuk membawa bekal adalah tas
yang sudah ia gunakan sejak kelas 1 SMK yang mana sudah memiliki bekas operasi
dimana-mana. Namun itu bukan masalah yang berarti baginya ketika ingat tas yang
digunakan ayahnya untuk membawa bekal ke lahan sumber pencarian, itu jauh lebih
tua yang jika diperkirakan seperti manusia ia telah dalam kondisi kritis.
Tetapi tiba-tiba tas itu pula yang membuatnya tersentak sedikit malu saat
membuka resleting tas yang tidak bisa di kompromi sehingga membuat perutnya
bersabar sejenak. Kini keberadaannya serasa dipenuhi oleh mata-mata orang yang
pada dasarnya belum tentu melihat dirinya.
[1] Peletik biasa dikenal dengan nama ketapel
yang merupakan senjata tradisional setempat yang memiliki fungsi seperti
senapan. Peletik terbuat dari kayu bercabang yang ditambah dengan beberapa
karet sebagai energi pegas serta belulang yang digunakan untuk meletakkan
peluru yang biasa terbuat dari batu.
[2] Cong mak
ilong merupakan lagu yang hingga kini belum terdaftar sebagai lagu daerah
setempat apalagi lagu nasional.
[3] Tangkun
merupakan pohon yang di desain dengan kayu sebagai alat bantu untuk memanjat.
Tangkun dibuat senyaman mungkin layaknya rumah tarzan. Tangkun digunakan untuk
mencari punai dengan proses yang dinamakan MULUT.
[4] Pulut
merupakan alat yang digunakan untuk menjebak burung. Pulut terbuat dari getah
karet namun terkadang juga dibuat dari karet bekas yang dibuat layaknya lem.
MUDIK (ORA)
Yeeeyy 21 januari yang lalu liburan
kampus. Waktunya berlibur dan pulang kampung, setelah 2,5 tahun tidak
menginjakkan kaki disana. Senang dan semangat menjadi kaki kanan dan
kiri. Dor..... aaaaaakkkk...... ternyata aku bukan lagi mahasiswa. Lalu
ini masihkah namanya liburan? hehe jelas iya, karena saat ini saya masih
tidak berbeda dengan mahasiswa.
Tinggalkan saja dimana dan apa kerjaanku saat ini. Pulang kampung,
adalah tradisi yang dipegang erat bagi mereka yang hidup merantau.
Belitung merupakan pulau dimana hati ini dilatih untuk menjadi perantau
sejati. Sejak SMA aku sudah tidak lagi seatap dengan dia yang melahirkan
ku. Ibu, sang malaikat tak bersayap yang nyata bukan layaknya peri
dalam dunia hayalan. Bapak, superman yang tanpa topeng, ia hanya
memiliki pacul tuk membangun sebuah atau dua buah ladang. Kuat bagiakan
Little Krisna. :-) ku yakin mereka telah menerima penghargaan dari alam
dimana mereka berkarya.
Sejak pertama kuliah, bapak dan ibu hanya membekaliku dengan sedikit
modal nekad. Bagaimana tidak, ketika dunia kerja sudah diambang mata,
kelulusan SMA sudah menjadi nyata. Tak disangka dan tak diduga tawaran
untuk menyambut bangku kuliah kini telah menjadi fakta. Sejak itu tak
ada kata dari bibir, hanya getar dalam hati, dengan sebuah kalimat tanya
"mimpikah ini?". Wajah letih bapak yang saat itu diselimuti semangat
untuk melihat anaknya memakai toga kini tepat didepan mata.
"mau kuliah dimana?" wajah itu bertanya layaknya tanpa beban.
"sebentar pak, saya tanya-tanya dulu" semangat yang bapak tularkan kini ada padaku.
"mau kuliah dimana?" wajah itu bertanya layaknya tanpa beban.
"sebentar pak, saya tanya-tanya dulu" semangat yang bapak tularkan kini ada padaku.
Tak lama berselang, aku harus memilih tempat kuliah yang pas. Jogja
merupakan pilihan tepat karena saat itu dan "kini" Jogja masih dikenal
sebagai kota budaya dan kota pelajar.
Sejak awal kuliah tekad ini sungguh kuat. Tak ayal semangat ini sering
menjadi pegangan mereka yang membutuhkan. Dalam hati berniat "aku harus
lulus tepat pada waktunya dan tidak pulang sebelum wisuda". Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga
tiba kini aku diujung lorong waktu dimana toga yang dulu bapak harapkan
siap dikenakan. Bahagianya tak kurang satupun sampai ku kabarkan 16
Agustus 2014 aku kan wisuda, setelah menjalani proses jatuh bangun
selama kurang lebih 4 tahun.
Kembali aku bertarung dengan sang waktu, berharap sebuah kajaiban
setelah terdengar sayup haru oleh angin pulau Pongok. Oh iya.. pongok
merupakan nama tempat dimana keluargaku menaruh hidup dan kehidupan.
Pelan pelan ku dengar keadaan keluarga yang yak memungkinkan untuk hadir
ditengah hari yang ku hitung tepat 4 tahun sejak duduk dibangku kuliah.
Senyum? sungguh tak lupa untuk hal satu itu. Mencari selimut untuk
sembunyikan sedih. Mencari hati tuk sembunyikan hati. Bagaimana tidak,
detik itu menderu semakin dekat hingga suatu pagi ku terbangun oleh riuh
gaduh tetangga kost yang siap siap ingin di wisuda. Ohhhhhhh ternyata
aku juga. :-). Dimana mereka? ku berlari menuju sebuah ruangan yang ku
ingat disitu ada keluargaku. Benar saja... ternyata keajaiban itu ada.
Disana ada keluarga yang hadir dan sedang bersiap hadir pada upacara
wisudaku. :-). "selamat datang" ku ucapkan seraya membuka tabir
kenyataan yang ku rias dalam mimpi semalam. Mereka keluarga memang,
namun bukan bapak atau ibuku. Tak apa, senyumlah selalu sebagaimana
pesan ibu.
Hitungan waktu kini semakin berada dalam dimensi terkecil. Bukan lagi bulan apalagi tahun. Kini hitungannya tinggal detik. Jujur saja sampai pada sedetik sebelum menaiki podium didepan rektor, aku masih berharap wajah itu hadir ketika membalikkan badan ditengah keramaian upacara.
Hitungan waktu kini semakin berada dalam dimensi terkecil. Bukan lagi bulan apalagi tahun. Kini hitungannya tinggal detik. Jujur saja sampai pada sedetik sebelum menaiki podium didepan rektor, aku masih berharap wajah itu hadir ketika membalikkan badan ditengah keramaian upacara.
Hmmmhhh sudahlah. aku mau mudik saja. Kembali menghitung mundur waktu.
Sejak diwisuda, tradisi mudik sudah hancur dalam diri ini. tak ada nama
pulang kampung (maunya). Sejak itu pula memutarkan otak tuk bertahan
dalam gemerlap kota Pelajar ku putuskan. Sampai pada 20 januari rasa
rindu ini mencapai puncaknya. Benar saja begitu banyak berbelit jalanku
untuk memutuskan pulang. Rasa takut terjebak nyaman dalam sebuah kampung
halaman menjadi penyebab. Bukan tak mau, hanya karena ku pahami area
dan "track record" disana.
"Bapak sakit"
Sejak itu tanpa berpikir ulang, ku berlari menuju agen sebuah maskapai.
Tepat besok pagi aku harus pulang kampung. Manambah rindu akan sebuah
raut wajah. Senandung rindu ini kian berkecamuk bercampur khawatir
terhadap malaikat tanpa sayap dan supermen tanpa topeng. :-)
"Pulanglah nak" sungguh itu membuat mata menangis.
_____Bu, anakmu pulang terlambat, tutup saja pintunya, namun jangan dikunci.
"Pulanglah nak" sungguh itu membuat mata menangis.
_____Bu, anakmu pulang terlambat, tutup saja pintunya, namun jangan dikunci.
SAJAK UNTUK WANITAKU
Dari tulang rusuk lah kau diciptakan
bukan kepala
sebagai atasan
pun bukan kaki
untuk direndahkan
melainkan dari satu sisi
untuk dijadikan pendamping
Dekat dengan tangan
untuk dilindungi
Pula dekat dengan hati
untuk dicintai
Jogja, 27 februari 2015
Yudhi Doank
SELAMATMALAM EXPRESSO
Hujan, 1% adalah air, sedangkan sisanya 99% adalah kenangan. Oh iya ini
malam apa ya? Lupa waktu kalo udah kayak gini. jarum jam seakan mati,
malam seakan ditikam, hujan bagaikan butiran mutiara yang jatuh dari
langit.
Toshiba dan Asus adalah dua makhluk hidup sebagai saksi dimana kami
berada. Bukan manusia, karena semua seakan tak ada. Bukan mati, hanya
memang tak kami hiraukan. Catatan malam tentang kami mungkin memang
sudah berakhir, namun peduli amatlah, makan aja belum. hehehe
3 maret adalah angka yang bisu dimana rasanya ingin ku bunuh.Sejak pagi
aku sudah disibukkan dengan urusan ke-imigrasian. Hingga sore tepat
--karena matahari memang tidak ada, padahal baru jam 3-- aku baru
menginjakkan kaki kedalam ruangan 3x3. Benar saja, jika sejak siang hari
jogja memang sudah dibuat menangis oleh kekejaman alam yang senantiasa
tidak bersahabat. Entahlah mungkin menangisi negeri ini. Peduli amat,
mbah Amat aja ga pernah peduli tuh. Sayangnya disini nggak ada mbah
Amat, yang ada hanyalah sekumpulan anak muda tapi tidak ada anak mudi
--aturan baku bahasa-- disini.
Ada banyak mata yang memang tidak saling mengenal, seperti diawal,
makhluk bernama toshiba dan asus adalah dua insan yang tidak saling
mengenal. tapi ada yang punya. Mereka tidak paham akan hujan diluaran,
hanya saja melihat sang tuan tersenyum sepanjang waktunya. bagaimana
tidak, jika diibaratkan biro jasa, mereka berdua memang sangat berjasa.
Mereka menjadi agen curhat para tuannya. Bahkan tak jarang mereka sakit
sakitan. Ada juga yang mengalami kerusakan organ dalam. Ku yakin dua
makhluk bernama toshiba dan asus ini sedang lelah. Hannya enggan untuk
berkata.
Sudahlah... mereka berdua hanya makhluk penghias malam ini. Bukan mereka
yang ingin ku ceritakan. Kalau boleh aku mau berpuisi sebentar.
Dari tulang rusuk lah kau diciptakan
bukan kepala
sebagai atasan
pun bukan kaki
untuk direndahkan
melainkan dari satu sisi
untuk dijadikan pendamping
Dekat dengan tangan
untuk dilindungi
Pula dekat dengan hati
untuk dicintai
Semua bisa diartikan dalam makna yang sebenarnya. Namun juga jika ingin
diartikan dengan makna khiasan, maka malam ini sangatlah tepat.
Entahlah.... panjang pertimbangannya untuk berpuisi ditengah hujan
begini. Kasihan pengunjung Expresso, nanti keburu mau pulang padahal
masih hujan. hehehe. Yahh ketika makhluk bernama cinta ku ceritakan maka
tak cukup waktuku disini. Betapa tidak, makluk yang satu ini berhasil
menyembunyikan sebuah pisau yang memang sempat menyayat tadi sore.
Gubraaaak... Ehhh ternyata ada orang disamping. heheh peace mbak, kayak
orang berantem aja. Nggak teguran gitu. Loohhhhh siapa yah? kutanya pada
pisang dan segelas kopi? mereka bingung. Tanyakan lagi pada roti.
Apalagi roti... mukanya aja udah dibubuhi dengan cokelat gitu. mana bisa
dia melihat. Tapi sang kopi berdelik seolah mengatakan
"hey... dia yang sering kau ceritakan dulu, ketika kau masih setia padaku ditengah malammu, kamu kan sering bercerita tentang Milea, kurasa itu dia."
Ohhhh.... tuh kan, sering lupa waktu. udah ah. udah malam.... terimakasih Kopi --setengah cokelat-- telah menyadarkan ku. :-*
"hey... dia yang sering kau ceritakan dulu, ketika kau masih setia padaku ditengah malammu, kamu kan sering bercerita tentang Milea, kurasa itu dia."
Ohhhh.... tuh kan, sering lupa waktu. udah ah. udah malam.... terimakasih Kopi --setengah cokelat-- telah menyadarkan ku. :-*
BUNDA DAN WANITA
Bunda kutinggalkan dengan air mata
dan wanita pergi atas nama cinta
dan wanita pergi atas nama cinta
Rindu ini kian tak
bertuan.
Jogja, 30 maret 2015
Jogja, 30 maret 2015
Belum kering embun
semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika
bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang
tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena
hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian
tertutup pikiran kian melayang. Jauh tak
terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan
kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda
sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada
satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada
didepan mata.
Haramkah hadirku? Entahlah,
kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan
yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini
kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan
kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk
senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan
terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu
didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam
ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung
usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita
sama-sama tau.
Detik ini aku kian sadar,
mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin
rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun
ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa.
Tuan si rindu ini kian tak ada.
RINDU UNTUK BAPAK
Suatu pagi seorang bapak muda duduk dengan putranya. Ditengah kegundahan
hatinya karena sedang sakit, bapak tersebut tidak bisa bekerja seperti
biasanya. Dia duduk dibangku panjang sambil bercengkrama dengan putra
kesayangannya itu.
Putra tersebut sedang berusia 3 tahun. Masih terlihat jelas rona bahagia
sang bapak karena anaknya kini kian tumbuh besar. Dipeluknya erat anak tersebut
karena udara semalam masih menyisakan embun dipagi itu. Acap kali sang anak
bertanya deangan bapaknya
“Pak, itu burung apa” sang anak
bertanya kepada bapaknya sambil melihat burung diatas pohon rambutan didepan
rumah
“itu namanya burung kelayang”
jawab sang bapak sambil memeluk putranya dengan kasih sayang.
Berulang kali sang anak bertanya tentang nama burung itu. Mungkin ada
sekitar belasan pertanyaa yang diberikan oleh anak tersebut kepada bapaknya.
Semua pertanyaan tersebut adalah sama. Dengan sebanyak itu pula sang bapak
menjawab pertanyaan putranya dengan sabar. Tanpa marah sedikitpun. Malah
dijawab sambil memeluk erat si putranya itu.
Berlalunya waktu tanpa terasa anaknya sudah tidak lagi berumur 3 Tahun.
Anaknya sudah menduduki bangku SMP dan mulai beranjak remaja. Kasih sayang sang
bapak tidak sedikitpun berkurang. Sama seperti orang tua yang lain. Bertumbuhnya
usia sang anak kiti seakan tidak dirasa. Hingga ia membelikan sepeda untuknya
bersekolah. Berbagai liku kehidupan dalam sebuah keluarga kecil itu terjadi.
Hingga satu hari ia menyadari sang anak
kini telah tumbuh menjadi anak yang remaja. Ketika anaknya belum pulang sekolah
padahal jam sekolah sudah terlewati sekian lama, perassannya kian menjadi kacau.
Pada saat itu anaknya sekolah di sebuah SMP dengan waktu dimulai siang hari
hingga sore hari. Anaknya tidak sendiri, ada 6 orang siswa lain kini yang
mengayuh sepeda bersamanya.
Sore itu anaknya belum juga datang sekolah, hingga jarum jam menunjukkan
angka 7 tanpa matahari terbit alias jam 7 malam. Perasaan gundah seorang ayah
kini kian kuat. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran tersebut memiliki alasan yang
kuat mengingat medan yang dilewati begitu terjal. Bagimana tidak, hutan
sepanjang 6 Km mereka lewati setiap hari menjadi kekhawatiran setiap orang tua
yang menyekolahkan anaknya disana. Tidak terkecuali bapak muda yang beranjak
tua tersebut. Hingga melewati batas kegundahannya, bapak muda tersebut
menunggangi sepeda Phoenix kesayangannya
untuk memastikan apa yang terjadi pada anaknya.
“Bu, bapak menyusul anak anak dulu,
kok jam segini belum juga sampe rumah” ucap sang bapak muda kepada istrinya yang juga semakin gundah.
“iy pak, cepat dipastikan anak-anak itu, kok belum juga pulang” ucap ibu
muda yang tidak kalah gundahnya
Dengan sepeda tuanya yang dihiasi rasa gundah, sang bapak kini semakin kuat
menggenjot pedal sepedanya hanya ingin memastikan putra kecilnya dulu. Dimana
dia? Ada apa dengannya? Mengapa kini beum tampak dimatanya? Begitu banyak
pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya. Hingga ditengah perjalanan sang
bapak menghentikan sepedanya dengan keringat bercucuran di kening tengah
bayanya. Oh... alangkah sayangnya sang bapak kepada anaknya hingga setengah
perjalanan ia memastikan keadaan si putranya. Setelah ditemui, keringat sang
anak membuktikan bahwa rasa letih nya kian ada. Ternyata salah satu dari 6 sepeda
anak tersebut tersebut mengalami putus rantai sepeda. Dengan modal setia kawan,
kelima teman anak tersebut turut menuntun sepedanya. Termasuklah si putra bapak
yang setengah baya tersebut.
Perasaan lega terpancar jelas di wajah bapak tersebut, kini tak ada lagi
gundah dihatinya. Semua pertanyaan yang selama ini berkecamuk dikepalanya sudah
terjawab. Perasaan senangpun kian muncul bercampur perasaan bangga melihat
kekompakan yang muncul dari ke-6 anak manusia tersebut. Dengan santai sang
bapak ikut menuntun sepeda tuanya hanya karena ingin melihat dan bergabung
dengan kekompakan si anak. Dengan perasaan bangga sng bapak tersenyum dan
bergumam dalam hati “syukurlah anak-anakku tidak kurang satu apapun”
Sampai dirumah sang bapak langsung menuju sumur dan menimbakan air untuk anaknya mandi. Sungguh
tanpa lelah ia menyiapkan segalanya. Dan ibu yang sedari tadi menyiapkan makan
malam. Setelah mandi mereka makan malam dengan ditemani lampu neon sebagai
media penerangan. Meskipun tertunda, namun makan malam mereka tidak kurang satu
apapun, malah bertambah bumbu keharmonisan dalam keluarga kecil itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tibalah waktunya sang bapak kini
harus melepas putra nakalnya. Bukan melepas ke hutan, karena itu memang dunia
mereka. Namun kini harus melepas kekota. Sampai tanpa terasa sang putra kini
tidak sendiri, hadir pula seorang putri kecil sebagai penghias rumah. Sebagai teman
sang ibu untuk bercanda. Hingga ketika putra kecilnya dulu melangkah kan kai ke
kota, mereka tidak terlalu kesepian.
Dalam kesehariannya sang bapak terus saja kekebun ladanya untuk sekedar
membunuh waktu. Belum sewindu namun sudah rindu. Bapak yang dulu dengan sabar
memapah putranya untuk belajar berjalan, kini tidak tampak lagi wajah kecil itu.
Sampai pada satu hari ia menerima telpon dari sang anaknya
“Pak, sekolah meminta bapak untuk datang
dalam pengambilan rapot” ucap
putranya yang kini hanya terdengar lewat telpon.
“Kapan bang? Memangnya tidak bisa
diwakilkan? Minta paman yang datang bisa tidak?” seraya mengajarkan kepada putrinya agar memanggi
putra kecilnya dulu dengan panggilan abang.
“Minggu depan pak, kata kepala
sekolah akan lebih baik orang tua sendiri yang datang” jawab sang putanya dengan sopan
“oohhh baiklah, diusahakan bapak datang yah” demikian sang bapak menjawab
sambil menenangkan hati si putranya.
Bagai ditampar, kini sang bapak yang dulu masih muda, kini kian merasa tua.
Jelas, karena kini juga ia menyadari kalau putra kecilnya dulu sudah beranjak
dewasa. Ternyata saat ini dia sudah menduduki bangku kelas 3 SMK. Jelas sudah
kalau usia bapak muda itu kini beralih semakin tua. 5 menit setelah berbicara
pada anaknya ia sempatkan untuk merenung sambil bergumam
“ternyata putra kecilku dulu kini sudah beranjak remaja. 3 tahun sudah ia
jauh dariku. Tak kulihat lagi tangisnya yang dulu. Pun begitu dengan tawanya. Bagaimana
kabarnya sekarang? Masihkah kecil seperti tempo hari? Atau sudah lebih tinggi
dari aku?” Demikian gumamnya dalam hati.
Suatu pagi, matahari yang tidak juga muncul karena keangkuhan sang cuaca
dan awan gelap. Benar saja, pagi itu begitu gelap, namun kapten kapal nelayan
memberikan kode seakan jangkar siap diangkat. Sang bapak nekad untuk memenuhi
panggilan sekolah untuk mengambil rapot anaknya pada besok hari. Dengan
menumpang satu-satunya transportasi yang memungkinkan itu ia tetap memberikan
senyum. Dermaga pulau pongok menjadi saksi betapa rasa rindu dan cinta sang
bapak begitu besar terhadap putranya. Bukan tidak khawatir dengan ketinggian
gelombang, namun cinta pada putranya melebihi kekhawatiran itu. Bukan tidak
takut melihat ombak didermaga yang kian tinggi, namun rindu pada anaknya telah
menyembunyikan pisau ketakutan itu.
Setelah meewati perjalanan laut kurang lebih 6 jam, dengan kepala pusing
akhirnya ia tiba didermaga Tanjungpandan belitung. Sebisa mungkin ia
menyembunyikan kabar yang tak enak selama didalam kapal. Benar saja, diantara
banyak penumpang kapal nelayan tersebut, ada seorang remaja putra yang
mengalami pusing yang tak terhingga. Sampai pada titik puncaknya ia pun muntah
diatas tubuh bapak tengah baya itu. Inginrasanya marah, namun remaja itu
menginatkan ia pada tujuannya berangkat. Ia membayangkan wajah yang sekian lama
tidak ia lihat. Wajah yang dulu sering ia ajak melihat burung kelayang didepan
rumahnya. Oleh karena itu amarahnyapun redam dan berpura seolah tidak terjadi
apa apa. Meskipun dari bercak kemejanya terlihat jelas oleh sang anak bekas
muntahan seorang remaja putra.
Keesokan harinya, iapun pergi kesekolahan si putranya. Bedanya dulu ia yang
membimbing putranya itu dan mengantarkannya dengan sepeda tua ketika SD.
Sekarang kembali putranya memimpin langkah untuk menuju sekolah yang ia lihat
baru baginya. Dulu putra kecilnya menggunakan seragam kerah putih, kini sudah
beralih menggunakan putih abu abu. Sampai pada giliran nama putranya dipanggil,
wajahnya sungguh sumringah. Mendapati nilai putranya yang kian memuaskan.
Yaaahh... mungkin rasa rindu dan sayang atas putranya menjadi bumbu penyedap
senyum atas nilai yang ada ditangannya.
Karena kebunnya kian dirindukan, serta ia megitu dibutuhkan oleh tanaman
yang ada dikebunnya, iapun garus meninggalkan putranya dan kembali ke rumah.
Sama seperti pergi, kembali pun ia menggunakan kapal nelayan yang kian semakin
mengerikan untuk ditumpangi. Bukan karena rusak, namun cuaca memang kini sedang
tidak bisa bersahabat. Gelap dilautan lebih menakutkan jika dibandingkan gelap
di gunung. Yahh mengertilah maksudku.
Dan hari ini, tepat di gedung ini. Tempat dimana jutaan mahasiswa di
wisuda. Tempat yang dulu dan hingga kini dikenal kota pelajar dan kota budaya.
Ada seorang anak yang rindu akan ayahnya. 3 Maret 2015 pagi, putra kecil
kesayangan sang bapak kini berada di antara ratusan manusia. Mengantri digedung
Imigrasi Yogyakarta. Bisa ditebak bukan, orang pribumi berurusan ke kantor
imigrasi. Yah... dia berdiri di line
antrian dengan membawa status pemohon untuk penerbitan paspor. Putra kecil sang bapak dulu kini sudah berdiri dan
tertunduk hormat dikota budaya ini. Bukan tentang mau kemana ia pergi dengan
paspornya itu, namun tentang sebuah kenangan yang ada ditengah hujan angin
kemaren.
Ditengah antrian yang kian memanjang, ada seorang bapak yang kian menua
dengan menggendong putra kecilnya. Dengan penuh kasih sayang bapak dan anaknya
berbicara
“Pak, itu burung apa?” tanya anak kecil itu.
“itu burung gereja” jawab sang bapak, dengan penuh kasih sayang dan pelukan
Pertanyaan yang sama juga bukan hanya sekali itu, namun berkali kali anak
kecil itu bertanya. Sebanyak itu pula sang bapak menjawab dengan kasih sayang,
tanpa memarahi anaknya sedikitpun. Sontak kejadian itu mengingatkan seorang
anak yang kini rindu akan bapaknya. Mungkin kini tak semuda bapak itu. Yang pasti anakmu kini kian rindu.
Yogyakarta, 3 Maret 2015 oleh Yudhi
Doank
__Bapak, anakmu kini kian jauh,
mungkin kan menjelajah dan keluar dari negeri antah berantah ini. Cerpen ini
didedikasikan untuk Bapak yang jauh disana. Putramu kian sayang dan rindu.
Subscribe to:
Posts (Atom)