klik

Pages

Thursday, July 2, 2015

SEPI

Memang
Angin menderu tak berarti badai.
Tanyakan saja pada alam,
dimana kita?
Seandainya dipantai
Pastilah angin kan menderu,
karena angin menggesek laut luas dan ombak ada.
Hingar bingar ombak dipantai menjadi hal yang lumrah,
Jika tentram dan diam maka dihutan lah kita.
Tuhan, aku dimana?
Ketika aku sepi dalam keramaian.

Wednesday, July 1, 2015

Rindu Tak Bertuan Tanpa Jilid

Rindu tak bertuan tanpa jilid. Pohon itu kian berbuah lebat dan besar, segar dipandang apalagi dipetik lalu dimakan. Begitu lingkungan ku kini. Hidup diantara kesegaran pepohonan yang kian tak terbatas. Hutan? bukan hutan, ini hanya perkebunan warga. Sungguh mulia hati seorang petani dimana proses mereka selalu dihadapkan dengan alam, lalu hasil taninya selalu dihaadapkan dengan manusia. ribuan bahkan jutaan manusia yang menikmatinya. Mungkin itulah sisi kehidupan para petani yang harus dijadikan teladan. pergi pagi dengan sepatu boat, baju yang cenderung kumal serta caping untuk menutupi sinar langsung matahari ketubuhnya. Ada apa dibalik semangat pak tani itu?
Mukmin, begitu namanya. Seorang pribumi kelahiran Pattani, Thailand sekitar 29 tahun silam. Kami berkenalan ketika pertama bertemu di masjid yang ada didekat rumah dinas tempat saya tinggal. Ketika itu kedatangan saya mengundang perhatian semua warga sekitar. Hukum alam memang, jika ada sesuatu yang baru pastilah akan akan menjadi titik perhatian, dan wajahku adalah wajah baru. Wajah khas Indonesia yang pas pasan namun cenderung agak keren dan kece kekinian. Mungkin ia kasihan ketika melihatku kebingungan ditengah bahasa yang tak senada dengan Indonesia. Dengan perlahan dia mengajak kuberbincang menggunakan bahasa melayu. Sebagian besar penduduk asli Pattani bisa berbahasa melayu karena letak perbatasan dengan Malaysia.
Ohhhh bukan itu yang ingin ku ceritakan, bukan asalnya, bukan bahasanya akan tetapi Satu kata darinya. yaitu Semangat. Ku ketahui beberapa hari belakangan  ia adalah seorang petani karet dan juga tentunya petani berbagai macam buah buahan. Istrinya adalah seorang rekan guru di sekolah tempatku mengajar. Ia bercerita perjuangannya untuk mendapatkan istrinya tidaklah mudah mengingat tradisi yang ada di thailand ini semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan, semakin tinggi pula biaya pernikhan yang diminta (mahar). Istrinya adalah seorang Strata 1 atau (BA). Namun dia berkata, apalah daya ketika hati sudah memilih, membelah lautan demi menyusuri jejak sang Ayah seorang gadis akan dilakukan. Singkat cerita ia menikah dengan istrinya kini.
"Bulan berganti bulan, tahunpun kini berganti tahun, hidup kami semakin bahagia" Benar saja setiap hari kulihat mereka berboncengan sepulang dan pergi istrinya kesekolah. "Setiap hari saya ke hutan, kadang letih, lemas (ketika puasa) dan panas tentunya, tapi semuanya berbeda ketika saya sudah menikah, semua itu tidak terasa, karena setiap hari saya merasa ada yang menunggu saya pulang kerumah, jadi semangatnya berkali kali lipat yang saya dapatkan, dek". 
"Sudah punya calon istri?" Sontak pertanyaan itu ditujukan kepada saya, sambil tersenyum saya tidak menjawab pertanyaannya. Saya hanya diam dan tersenyum meskipun pertanyaannya telah ia lakukan berulang ulang. "saya tau pasti sudah ada, sepulang dari Thailand, menikahlah, tidak ada yang perlu kau takutkan. Dulu duit saya habis untuk meminang saja, setelah menikah ada ada saja rejeki" kembali saya hanya tersenyum mendengar wejangan lelaki muda ini. Ketika kamu rindu dengannya, sekarang kamu akan tersiksa, karena tak ada tempat untukmu menaruh kerinduan itu. Namun ketika kau telah menikah, kerinduanmu akan terbalaskan, karena rindumu kian bertuan
Serasa dicambuk, selama ini beberapa tulisan yang kubuat dengan judul Rindu Tak Tertuan. Mungkin secara bahasa ingin ku kaji mengingat kata "TUAN" memang berasal dari kata dalam bahasa melayu. Akan tetapi mengapa kata kata itu muncul seakan dia tau apa yang ada dalam pikiran lawan bicaranya. barangali benar rinduku sekarang memang tak bertuan. Semua ini masih tentangnya, Tuhan. Ampuni hamba telah membocorkan rahasia hati antara aku dan Kau. 
Kini dia juga tidak tampak didepan mata, menghitung hari, ini adalah hari ketiga dalam hitungan manual. Entah sudah berapa Ton kerinduan yang terkandung. Milea, kau terbuat dari apa sih? apa iya terbuat dari segenap rindu yang kini belum waktunya ku jamah? Atau masih ada terbuat dari segumpal harapan untuk peranku nanti? Selamat siang Milea. :-)

Monday, June 15, 2015

RINDU

Dalam
Rupa wajah kian samar
Buram tak berbinar
Melebur jadi satu dalam gelap
Dalam mendung rantau yang tak beda
Kau tetap wanitaku
Wanita yang cakap tanpa dandanan
Setiap penaku digoreskan
Butir ingat tentangmu pasti ada
Meski dalam gelap dan kutulis meraba
Apa kabar Juwitaku nan jauh disana

Thailand,      Summer 2015

Rindu Tak Bertuan

Bunda kutinggalkan dengan air mata
dan wanita pergi atas nama cinta



Rindu ini kian tak bertuan.
Jogja, 30 maret 2015
     Belum kering embun semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian tertutup  pikiran kian melayang. Jauh tak terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada didepan mata.
     Haramkah hadirku? Entahlah, kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa  duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita sama-sama tau.
     Detik ini aku kian sadar, mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa. Tuan si rindu ini kian tak ada.

RINDU TAK BERTUAN (Sekilas perjalanan Indonesia-Thailand)

Jangan berteman dengan jarak dan waktu jika takut berjumpa rindu. karena ia adalah anak dari keduanya –Yudhi Doank—
Yogyakarta, ketika itu dan hingga kini masih tetap menjadi kota istimewa. Entah dilihat dari sudut pandang yang mana. Bukan karenaa susah dicari letak keistimewaannya, namun karena sulit membedakan yang mana yang tidak istimewa dari kota itu. 4,5 tahun hidup berdampingan dengan berjuta kenangan dikota budaya itu, sampai diri ini kian tak ingat kampung halaman. Kota yang begitu istimewa, kota yang begitu bersahaja serta kota yang kian menyiksa. Benar saja, hingga detik ini begitu banyak sarjana diwisuda disana. Namun tak sedikit dari mereka terjebak indah diadalamnya. Tersiksa bukan? Deraan yang datang dari orang tua untuk meminta kembali. Deraan dari keluarga yang terus bertanya kapan pulang lagi. Deraan dari tetangga yang mengatakan “kian lupa dengan kami”
Hujan malam itu kian deras, butirannya kian tak terbendung oleh baju hujan yang umum dipakai pengendara roda dua. Isyarat kasih tentang Jogja terukir ketika malam. Duduk berdua diangkringan seraya menikmati sajian Mas Rudi sepertinya menjadi kebanggan tersendiri. Pilihan tepat untuk mengukir sebuah kengangan memang tidak harus mewah. Angkringan dan gelap malam telah membuktikan. Malam itu sebuah janji untuk kain bersua dilayangkan. Berdiri termenung didepan kamar yang kini kian kosong membuyarkan lamunan tentang satu nama angkringan. Teingat akan janji menitipkan sebilah ilmu dalam bentuk buku. Dimana akan ku taruh? Bagaimana akan ku titipkan? Kapan lagi waktu untuk ku berjumpa sang pemilik rindu? beribu pertanyaan yang kian tak terjawabkan. Mungkin ruang sederhana kala itu bosan melihat si empunya yang kian berjalan tak terarah. Turun naik, keluar masuk, bahkan ngomong sendiri juga sepertinya dilakukan.
“jika tidak bisa malam ini, besok pagi pagi saja nitip bukunya” kalimat yang kian menghancurkan malam. Ingin rasanya marah, namun sama siap? Marah sama hujan? Alangkah bodohnya. Palang pintu rumah kost mungkin ikut menangis melihat si empunya yang kian bersedih. Marah sendiri bukan solusi, menahan diri sepertinya menyakitkan hari. Nekad? Yaaaa....  malam itu nekad keluar dengan memakai baju hujan bapak kost. Tanpa izin? Tak mengapa, karena beliau begitu baik. “aku kesana sekarang ya” isyarat bulan dalam hujan kian bersinar, karena pantulan cahaya kota Jogja yang tak pernah padam. Ketika sampai pada satu pintu, bibir kian tersenyum, meski lidah kian kelu dan kaki lelah menunggu. Memang benar, bunga tak selamanya mekar dan indah, namun selama pohonnya hidup, akan muncul bunga baru ketika musim bercumbu dengan waktu. Begitu pula dengan kekesalan, tetap saja namanya kekesalan yang beradu dalam api menunggu yan, diatas wajan rindu yang tak bertungku. Namun ketika bertemu wajah pemilik rindu, sumua seakan sahdu, merdu bahkan kecewa pun kini enggan muncul dari raut muka. Iya.. malam itu kami bertemu, bahkan sampai pagi, hanya berbeda alam yaitu alam mimpi.
Pagi ini, kota indah nan istimewa ini mengajarkanku arti keberadaan, arti meninggalkan, arti pertemuan serta arti perpisahan. Wiwi –adik sepupu yang kian setia—mengirimkan pesan sebagai pengingat bagiku untuk bangun pagi. “PING!!!    PING!!!   PING!!!” pesan yang kian mengandung multi tafsir. Namun itulah kemampuhan dari dunia tekhnologi. Pesan itu mengisyaratkan bahwa harus bangun. Meskipun sedikit terlambat, niatnya cukup ku apresiasi dengan sedikit berpura seakan aku bangun karena PING!!! Darinya. 2 jam sebelum PING!!! Itu datang mata ini sudah kian melebar. Bahkan badan kian wangi dan bersih.
“Waktu terasa semakin berlalu..
 tinggalkan cerita tentang kita.....
akan tiada lagi kini tawamu..
tuk hapuskan semua sepi dihati...
Alunan merdu suara ariel begitu cocok dengan nuansa hening pagi ini. Semua benda seakan mati. Jarum jam ditembok menunjukkan angka 8.50 yang artinya tinggal 3 ham lagi semua akan berubah. Bukankah hidup ini begitu indah ketika menunggu apa yang diinginkan? Sepertinya sangat tepat. Inilah mimpi yang kian ku tunggu sejak kelulusan sarjana dulu. Hanya saja semua terhalang restu. Ibu, ia tidak begitu paham memang tentang seluk beluk dunia, tapi satu bagian dunia yang begitu berarti baginya yaitu anak. Namun satu pelukan sepertinya begitu ampuh untuk meminta doa dan restu darinya. Kini sempat dilayangkan sepucuk surat pendek lewat angin. Sepotong kasih dalam ucapan terimakasih. Seutuh sayang dalam rangkaian kata. Namun kian tak berbalas.
Sedari bangun tidur hingga subuh, begitu banyak pesan yang kian dilayangkan, namun kian tak berbalas. Beralih kepada panggilan telfon, namun juga kian tak bisa. Yahh.. benar saja, ibu dan keluarga memang tidak disampingku pagi itu, mereka ada diseberang dunia kecil Indonesia. Dipulau yang kian kecil dan masih terpencil. Padang Keladi, Pongok, yang merupakan pulau dimana mereka berada. Pulau yang mengandung banyak penduduk namun dari berbagai mangsa. Bangsa manusia salah satunya. Detik itu kini kan melaju, berpacu dan berbanding lurus dengan langkah kaki ini untuk meninggalan alamat yang setengah palsu ini. Alamat kost, Jl. Perintis Kemerdekaan, Gg. Mangga.
Kembali kepada pemilik rindu, bukan hanya keluarga yang notaben bapak dan ibu. Namun sesosok makhluk astral yang anggun  mirip ibu. Sembari resah menunggu kabar dari ibu yang sedari subuh tidak bisa dihubungi, ingat akan rindu semalam yang memberi wajah kian merdu.
Milea, aku pergi
“Kamu beneran ga bisa datang?” sepucuk surat cinta berjenis elektronik kian melayang dengan sendirinya. Ajaib memang (kata orang awam). Pagi ini, bersama seorang teman, kaki kami bertekad melangkah namun bukan meninggalkan seperti yang ku katakan. Ternyata kini juga belajar menitipkankan, belajar percaya dan yakin pada satu doa. Sungguh perjalanan ini memang masih panjang. Kini hidup bagaikan dalam sebuah trowongan yang gelap, namun percaya atau tidak, semua trowongan akan menemui ujungnya. Akan ada setitik cahaya dalam sebuah kegelapan, bahkan dari kejauhan akan segera tampak nantinya. Thailand, begitu manis kata itu untuk diucapkan. Namun masa itu sangat sulit tuk ku bayangkan kalau pagi ini kami melangkah ke Kuala Lumpur, malaysia untuk selanjutny menuju Thailand. Milea, pergi memang berarti meninggalkan, namun dalam sebab akibat tentu ada makna lain. Pun begitu dalam pelajaran bahasa, dalam sebuah bahasa terdapat antonim yang berkata “pergi dan pulang”. Ku percaya sepenuhnya bahwa pergi pagi ini akan pulang disore hari, entah tanggal dan bulan berapa.
Buyar lamunan selam diperjalanan menuju Bandar Udara Internasional  Adisucipto Yogyakarta. Semakin dekat kaki ini melangkah, derupan suara kaki lain pun kian menggema juga. Mata tersadar ditengah macetnya jalanan menuju Bandara. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt...... khas suara handphne yang kian batuk. “Incoming Call My beloved parents”. Bibir ini tersungging membisu ditengah kemacetan jalanan. Sebuah percakapan anak dan ibu kian menggebu. Perasaan sedih kian datang, perasaan senang juga kian datang. Begitu indah percakapan yang mengisyaratkan kerinduan ibu dan anaknya. Kini mata kian sadar bahwa kemacetan jalan kian terurai. Ternyata kedatanganku dan teman satu ini menempati urutan terakhir.
Satu persatu dari mereka berpamitan dengan keluarga, perlu diketahui bahwa kami terdiri dari 4 orang. Dua perempuan dan juga dua lelaki. Kini berposisi sebagai leader dalam sebuah perjalanan ku tempati, meski saling membantu, namun yang memiliki pengalaman terbang bersama burung besi ketika itu hanya aku. Namun berbeda dengan arah atau rute penerbangannya. Dua perempuan yang sejak dulu ku kenal tegar ini ternyata kian menangis. Ketika peukan sang ibunya dirasa, tak ayal air mata mereka kian mengalir. Wejangan dari berbagai hal kian dilayangkan oleh masing masing orang tuanya. Ditengah kebersamaan mereka yang kian erat. Di kelilingi banyak orang di pinggiran “departure area”. Seperti kampung kecil yang mereka miliki, isak tangis sang bunda yang lembut hatinya kian bersuara. Bahkan satu dari lelaki yang berstatus bapak mendatangiku. “Titip Dina ya nak”. Ya bapak itu adalah lelaki tua yang tadi satu mobil menuju bandara. “InshaAllah pak, doakan kami”. Dengan senyuman mengembang khas seorang bapak, bisa ku tebak beliau adalah bapak yang hebat. Melahirkan seorang anak yang begitu tegar, cerdas, bersahaja serta memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni.
Kampung kecil ini kian sedih ketika kulihat seorang teman lelaki memeluk sesosok lelaki tua yang juga berstatus sebagai bapak. Satu persatu dari mereka mengulangi aksi yang sebetulnya kubenci, yaitu memeluk orang yang mereka sayangi. Aaaau.... seorang anak kecil berlari dan terjatuh, ketika itu kusadari kalau aku adalah lelaki yang sedang iri  dengan pelukan keluarga. Tak ayal, pelupuk mata ini kian sulit menahan sebuah air suci yang datang dari mata. Rindu ini memang semakin tak bertuan. Namun sedari lama ku sadari kalau rindu memanglah makhluk paling kejam, karena aku kian berteman dengan jarak dan waktu. Sampai kusadari kalau rindu adalah anak dari keduanya. Sedikit malu untuk menahan tangis, dengan cepat ku hapus kering semuanya, namun pelupuk mata mengisyaratkan berbeda. Tidak bisa bohong jika ia menampung air mata. Tidak bisa dusta kalau peluuknya memerah dan berkaca.
Kulihat seorang bapak yang kian manatapku tajam, entah karena iba dan kasihan. Mungkin juga karena marah melihat diri yang kian berpura tegar. Mengingat check in telah dilakukan sedari datang ke bandara. Kini kami dihadapkan dengan sebuah antrian panjang didepan ruang pemeriksaan imigrasi. Satu persatu mendapat giliran, sampai pada urutanku yang menyerahkan paspor sebagai dokumen dokumen resmi keberangkatan. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt..... getar kali ini datang dari pesan blek beri. “aku dijalan menuju bandara, sekarang kejebak macet”. Sungguh, bagai petaka datang dsiang bolong. Ketika passport resmi di-cap petugas imigrasi, mengapa pesan itu baru kuterima? Apakah baru kau kirim? Atau memang operator blek beri yang dendam padaku karena terlalu sering mengatakan rindu padamu? Ah...... kini satu persatu barang bawaan diperiksa dengan alasan keamanan. Dan kali ini, air mineral yang kubeli disita oleh petugas imigrasi, jeruk yang didapat juga disita bahkan kecap pedas yang kubeli juga ikut disita. Tak apa, mau diambil bajuku sekalian juga tidak masalah. Yang ada dipikiranku kini hanya bagaimana bertemnu dengannya yang kini berada dikerumunan motor dan mobil. Mungkin ia juga sedang berteriak meminta ditunggu. Tapi Milea,... aaaahhhhh.
Mas, tolong mas, izinin saya keluar bentar saja” percakapan alot bersama petugas imiigrasi kian terjadi. “maaf, paspor anda sudah di-cap yang berarti anda tidak boleh keluar ruang tunggu lagi. Penerbangan anda 30 menit lagi mas”. Berbagai dara untuk merayu petugas imigrasi dilakukan. Sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana raut wajahku kala itu. Untuk yang kedua kalinya mata ini berkaca-kaca. Sangat berharap ini adalah mimpi buruk dimana ketika bangun ada Milea disisiku. Ternyata tidak, ini adalah kenyataan yang kian menyiksa. “Aku didepan area keberangkatan” bagai diserbu beribu derapan dan langkah kaki. Seakan dipukul namun tdak bisa berteriak. Dipojok bilik imigrasi mata ini kembali berkaca-kaca dengan berlahan. “maaf, aku tidak bisa keluar ruang tunggu lagi” dengan sangat terpaksa pesan itu kukirim setelah benar benar putus asah. “ya sudah tidak apa apa, yang penting semoga selamat sampai tujuan”. Berat untuk dipercaya, bahwa pertemuan dalam hujan semalam adalah terakhir sebelum Keluar dari negeri antah berantah ini. “Sudah dipesawat ya? Aku dianjungan ini. Dari sini hanya terlihat ekor pesawatmu. Hati hati dijalan. Kabari jika sudah sampai
Milea, malam ini kutulis cerita ini tidak seperti biasanya. Tidak ada rembulan, aku tidak diatas genteng. Namun inspirasinya tetap satu. Kamu. Bulan mungkin sedang mencariku juga. Yang senantiasa bercumbu dengannya. Bercumbu dengan kamar itu. Namun kini ternyata kita beda negara, bukan lagi beda RT dan RW seperti kemaren. Hehehe selamat malam Milea, sudah senyum?
....Aku di sini dan kau di sana
Hanya berjumpa via suara
Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa
Meski kau kini jauh di sana
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati....
(RAN-Dekat Dihati)

Wednesday, April 1, 2015

ANGIN DUTA SUARA

Kutitipkan laut, dia berombak
Kutumpukan angin, terbang melayang
Kusimpan bersama embun, kedinginan
Kulempar kematahari, terbakar
Bingung....
Bunga tak selamanya mekar
Pun begitu dengan senyum
Tak selamanya segaris
Bukan kisah Mahabarata
Apalagi Angling Dharma
Hanyalah gelisah akan satu rasa 
Ini bukan kasih dalam bait puisi
Juga bukan cinta dalam kata kata
Resah mencari makna
Ingin kubuang rasa rindu
Karena alamat dulu tak dapat dituju
Ohhh.... meski meraba, ternyata rasa masih dalam senyum mu

BALIK UNTUK TANGKUN

Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna.
     6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan.
     Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai).
     Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-)
------Dikutip dari Novel "Jagoan Padang Keladi", Karya Yudhi Doank.
Didedikasikan untuk Padang Keladi dan kelima sahabat masa SMP (Mario, Ranu, Candra, Eko & Sunyoto) Yang kini sebagian dari kami entah dimana.

MILEA UDAH SENYUM?

Milea, dia bukanlah Mileaku 1990. Jika Pidi Baiq menuliskan Dilan, Dia adalah Dilanku 1990. Maka Yudhi "Belum" Baik ingin bercerita tentang Milea dijaman milenium. Yahhh... Milea, dia adalah Mileaku 2014. (Terimakasih om Pidi Baiq)
Belum sempat ku hirup kebingungan kota Jogja, raung keindahan kini datang tanpa ku undang. Hehehe dasar aneh.... Pertama aku dikenalkan dengan keistimewaan satu kota bernama Yogyakarta, ketika itu kalender bilang sih itu tahun 2010. Yaaahh, 4 tahun yang lalu aku tertunduk hormat dibawah naungan satu "matahari" di kota pelajar. Ibu bapak membekali sedikit keberanian untuk melangkah mendekati peradaban, setelah bertahun-tahun diam duduk dan termenung dalam peradaban lawas. 
Entahlah.... apakah Jogja menyesal menerima kehadiranku, aku tidak paham itu, yang pasti ku yakin ada beberapa makhluk yang berstatus sama sepertiku yang tersenyum melihat kehadiranku, ibu kost misalnya yang senyum karena menemukan anak kost yang -belum- baik dan polos. Ehhhh.... tambah lebar senyumnya ketika ku serahkan uang sewa kamar. Alhamdulillaaaaah.....Loohhh dunia tidak memintaku untuk menceritakan itu lebih jauh, meskipun banyak hal menarik yang ingin ku bagikan tentang ibu Kost ku. haha..... 
Milea... aku mengenal namanya lewat Novel "DILAN, dia adalah Dilanku 1990" tapi aku sudah melihat wajahnya ditahun 2010, yaaahh begitulah Dunia yang tega menyiksaku menahan rindu pada orang yang belum ku kenal, looohhhhh kok bisa??? Tau ah gelap haha 
English for Tourism adalah matakuliah titipan Kampus yang diutus memperkenalkanku padanya dan Eyang Nuri adalah makhluk ciptaan Allah yang terindah karena telah memanggil namanya di presensi sehingga ketika itu aku tau namanya KH2. Namanya indah..... ada kuadratnya.... tapi kini aku lebih suka memanggilnya Milea.

***
Hai Milea, sudah senyum?hehehe.... dunia remaja sekarang pertanyaannya terlalu biasa menurutku. "sudah makan? mandinya? hmmmm lagi ngapain emangnya?" flat seperti meja bilyard... hmmmm mending flat tapi luas kayak lapangan bola, kan bisa guling guling. hahaha..... 
Tak terasa, anggap saja sekarang tahun 2011, modus untuk laki-laki romantis sepertiku ternyata berlaku juga. Entah siapa yang memulai, aku dan Milea ketika itu saling berbalas pesan singkat. Yang lain beralih ke BBM, aku masih asyik dengan SMS.... maklum BBM sering langka, loooohhhh.... hehe yaaahhh ketika itu HP Nok*a 5300 masih ku genggam erat. Sebetulnya bukan nggak mampu beli yang baru sih, hanya kata saja ibu bilang belum punya uang buat ganti HP baru. Huruf demi huruf, kata demi kata kalimat demi kalimat hingga menjadi paragraf, kami saling berbalas. Terus terang aku bingung, sihir apa yang membuat aku suka padanya, padahal dia nggak cantik, hanya mempesona, dia nggak pinter, hanya cerdas, lalu belakangan ini ku tau dia wanita yang kuat. Aku yang dulu mengaku pujangga terus saja bergelut dengan gombal -gembel-ku. sampai pada satu saat ku ajak dia bersepeda,
"hai.... nyepeda yuk, mau nggak" yaaah.... maklum nggak punya kendaraan, jadi Jogging saat itu lagi nge-trend dikalangan olahragawan cinta.
"hehe males... capek. aku juga banyak acara dikampus" ku tau ketika itu dia adalah bagian dari salah satu organisasi intra-kampus.
"ooohhh...." aku kehabisan kata-kata
"tapi boleh juga.... kamu lari,, aku pake sepeda, gimana?" aku nggak tau itu beranda atau bukan. 
benar saja,... berselang beberapa detik, sms baru diterima
"hehehe becanda ih... kasian kamu capek nanti, kapan kapan lah ya"  benar saja... si becanda memang panjang umur, baru dibilangin dia udah dateng. Makanya si "becanda" nggak mati mati sampe sekarang, sampai sampai negeri ini juga jadi bahan candaan.
Dari percakapan itu, aku mendapat beberapa cambukan, salah satunya cambukan karena rasa malu setelah mengetahui bahwa ia aktifis jurusanku, sementara aku? aktifis juga sih.... iya... ketika itu aku mengepalai sebuah lembaga yang bernama Jomblo Terhormat (lihat pekerjaan di profil facebook-ku). Bagaimana tidak, meskipun tidak memiliki pacar, tapi gebetan dimana-mana. Kayak ganteng aja. mau bilang kePeDean? terserah... setidaknya ku yakin ibu sering bilang aku ganteng semasa kecil. hehhe... Naah dari percakapan itu muncul semangat baru dan konsep baru dalam berpikir. Setidaknya aku mau mendandani hari hariku selayaknya mahasiswa beneran, bukan mahasiswa 3K (Kampus, Kantin & Kost). Seketika terlintas dalam pikiranku untuk mencari jalan mendekatinya lewat gaya ala mahasiswa. Ketika itu aku bergabung dalam sebuah komunitas seni. 
Dua tahun berjalan, hingga dalam detik keberapa, aku lupa tiba tiba namanya hadir setelah beberapa saat redup di hidupku. Oh iya.... Angin sempat menghembuskan berita tak sedap diterima telinga. Ketika kesenjangan bergelantungan antara kami, ia ternyata dekat dengan seseorang. Tak perlu kusebutkan namanya karena dia bukan tandingan apalagi sainganku. Aku yang ketika itu acak-acakan --sekarang juga masih-- sangat minder ketika mendengar namanya. Hingga satu waktu, seperti biasanya entah detik keberapa aku lupa, ku beranikan untuk mencari tau tentangnya.
***
Entah kebetulan atau tidak, 2014 menjemput warna kalender baru, warna kehidupan baru, dan warna almamater baru (lulus kuliah). Ketika itu P3K mengirimkan 4 orang temannya Milea untuk berproses bersamaku dalam  Praktikum. Seperti biasa, aku lupa detik keberapa dalam hari dan tanggal berapa aku menjadi salah satu laki-laki dalam Team itu. Dengan sangat terpaksa dunia memintaku untuk menjadi ketua setelah PPL dan KKN menempati kursi yang sama. Sehingga adalah satu keharusan buatku untuk mendekatkan diri pada mereka, begitulah teori minoritas yang berlaku. 
Suatu hari naluri kelelakianku ditantang ketika mendengar keempat temanku dan temannya itu berbincang tentang satu nama yang membuatku pusing, stress tapi meningkatkan keingintahuan. Yaaaahhh... ku tau ketika itu dia sedang menjadi ketua disalah satu komunitas. 
Ahhh sudah laah.... aku mau kerja dulu.,......... hehehe Milea udah senyum??

IBU BAPAK DAN RINDU

Angin... bawa semerbak rindu buat ibuku sayang
Bawa padanya sejuta kata maaf
Berat memang....
Bulan, katakan pada Ibuku aku baik baik saja
Tak usah dijawab jika ia bertanya
Anakku "sedang apa?"
Cukup berikan senyuman, bukan air mata.

Ibu... Punai nakal yang dulu ibu rawat...
Kini tumbuh dan belajar terbang labuh..

Terimakasih telah, masih dan akan menjadi malaikatku
Tak usah risau, Bu.

Ombak.... salam senyum buat Bapak dan jala-nya
Bawa padanya seribu kata terimakasih
Berat memang....
Bintang, letakkan penghargaan di badannya..
Paksa jika ia tidak mau.
Karena dunia selalu ingat keringatnya

Ibu, Bapak.... malam ini anakmu pulang terlambat.
Tutup saja pintunya, tapi tak usah di kunci :-)

MILEA DITELAN SENJA

milea menghilang. Sejenak ku perhatikan jarum jam, terhenti pada satu detik dimana ternyata rindu ini tak bertuan lagi. Ternyata aku kini sudah tak dalam detik yang sama. Detik satu tak sama dengan detik dua, menit berganti jam, jam berganti hari kini tak ada Milea disisiku. Bukan dimana? yang ku tanyakan, namun mengapa? Entah mungkin rasa telah berbeda, mau yang tak sama dan mungkin juga arah tak sejalan, tapi yang pasti Milea kini telah menghilang. 
Milea dimana? kulihat indah foto nan ayu menempel didinding sebuah ruang berukuran 3x3m yang sejak dulu hingga sekarang akrab disebut Kamar Kost. Oh iya... perlu diketahui bahwa aku adalah seorang pensiunan mahasiswa hehe. Hingga kini kehidupanku masih dihiasi oleh misteri 3x3. Dengan dinding dan ornamen sederhana, berdebu serta tak terawat, ada sebuah sebuah foto yang menempel dengan rapi. Kubersihkan setiap hari dikala mentari menyinari hingga rembulan bernyanyi memintaku untuk terlelap. Milea, itulah fotomu, dan fotoku juga tentunya. Milea dimana? sudahkah Milea lupa musim tak berbulan yang kita lewati? ku harap ini hanyalah sebuah Sinetron Indonesia yang memiliki banyak liku dalam proses namun selalu memiliki Happy Ending. Menikmati hidup ini tentu perlu inspirasi, sekecil apapun itu inspirasi akan sangat berharga ketika sendiri, ketika tak dihargai, ketika tak di ingini dan ketika kehilangan tanpa disadari.
***Milea Pergi***
Pergi, dalam KBBI berarti meninggalkan. Meninggalkan merupakan kata kerja yang membutuhkan subjek. Tentunya objek yang ditinggalkanpun juga ada. Milea kini ternyata tak hanya menjadi objek yang dijalankan oleh Tuhan, namun juga menjadi subjek yang menjalankan rindu dalam derap diri ini. Aku tak mengerti apakah ini namanya kehilangan, yang ku tau tanpamu aku sepi.Bukan berarti setiap saat kita selalu berdampingan, memang tidak sama sekali.
Seperti biasanya, aku selalu lupa entah detik keberapa, menit keberapa dan bahkan jam keberapa. Yang ku ingat hanya detik dimana Milea senyum dimalam itu menggantikan bulan yang tertutup awan. Mungkin sedikit redup ketika itu, tak apa yang penting kau ada. Ketika malam sudah berkuasa, dingin menjadi raja, embun bersiap menyambut mesra dan diri mulai tak terjaga, Milea datang membawa sebongkah rindu. Sejenak kemudian dia menghilang tanpa meninggalkan tanda apalagi jejak. Detik itu ku sadar ternyata rindu yang ia bawa sudah tak bertuan lagi. Ahhh, bukan kah rindu itu dibawa oleh tuannya sendiri? Ternyata bukan, hanya saja dunia terlalu egois mengirimkan bidadari pembawa rindu, jika akhirnya bidadari itu digrogti sang waktu. Bukan salah Milea selaku bidadari, hanya sang waktu dan pemiliknya lebih berkuasa. Bingung memang mengartikan dunia melalui cerita ini, karena pada saat cerita ini ditulis dunia memang tak memiliki arti.
Dalam suatu pagi, seandainya --mendekati iya-- datang makhluk luar angkasa bernama rindu, maka kan ku gantung dan ku ternak dia dipelopak mata, meskipun tak nyata, setidaknya ia selalu terasa disetiap kedipan mata. Setiap satu, akan beranjak menjadi dua, begitu juga harapanku setiap rindu akan beranjak menjadi jumpa. Milea, jangan pergi dariku. Kalau mau pergi sekarang saja. Kutunggu diruang rindu, kunanti dalam hati, jangankan mulai pagi ini, malampun ku mampu. Meskipun dingin yang penting ku tak beku.Tapi jangan harap kau bisa pergi lagi. GUBRAAAAKKKK... ternyata aku lagi bermimpi. Pagi ini tepat di Lowanu tempat ku bekerja, ku cari Milea. Ternyata dia sudah benar-benar pergi.... Capailah kebahagiaanmu, jangan pikirkan aku. Aku akan baik baik saja. Selamat jalan Milea, jika ada waktu, mampir keruang rindu kita berdua, buatlah satu menjadi dua. Dari aku ataupun kamu menjadi KITA.
Gersang, panas, gerah.... tak ada kata untuk menggambarkan betapa tak bersahabatnya dunia ini. Suara palu berkelahi dengan paku menghiasi ruang kerja, karena sebelah ada perbaikan. Milea, tak banyak permintaanku, cukup memberi kabar lewat angin. Pernah ku berdialog dengan sejuta makhluk yang tak terlihat oleh mata, yaitu sayang, rindu, cinta, kepedulian, kecemasan, kasih sayang dll, entahlah.... padahal semua itu merupakan kata benda dan kata sifat. Tapi semua itu kini tak tampak apalagi dirasa.
Tuhan, terimakasih atas kuasamu.... aku lupa detik yang keberapa, seperti biasanya. Milea sudah senyum? Ku yakin dia tersenyum lebar.

HUJAN DAN PERTEMUAN TERENCANA

Oleh: Ikmi Nur Oktavianti

Betapa kami mengagumi hujan,
Pecinta di atas bumi,
Dengan senyum mengembang dari wajah peresih,
Kami sambut setiap tetes yang mengenai kulit ari
Seperti belaian lembut yang menyeka tiap peluh kehidupan yang terperi
Dan mengenai helai-helai rambut kami
Bak seorang bayi dilangir seorang inang yang penuh kasih
Dan tetesnya yang mengenai bumi, beriringan,
Seperti para biduan yang mendendangkan lagu-lagu, beranggap-anggapan
Ah, kami mulai paham
Seperti telah terjadi persekutuan hati, langit dan bumi
Seperti ada pertemuan terencana, atau juga janji keduanya.
Maka lagi malam ini kami menelusur jejak hidup, menelusur perjumpaan terencana malam ini
Dengan temaram lampu kota di kanan kiri
Angin mulai digagahkan, dingin mulai diselimutkan di selingkup atmosfer
Supaya beroleh rintikmu mengunjungi bumi
Padahal baru kemarin kalian berbagi sapa, lewat pesan rahasia
Dan hujan yang tiada kunjung reda
Ketika kecup tulusmu menyentuhnya,
Bumi berkata: “lekas engkau datang!”
Meski masygul rasa hati
Karena petrichor yang tersesap masuk ke lubang hidung
Menyeruak dari pori-pori tanah bagaikan bunga selasih kayalnya
Memabukkan
Suatu perasaan yang tidak mungkin dinafikkan
Dan kami ini,
Para pecinta di atas bumi
Turut bersuka atas cinta yang tersampaikan, atas rindu yang tersalurkan, meresap hingga ke dalam
Hingga nyaris tengah malam,
“Telanjuran”, kata bumi
Memang benar adanya
Percumbuan yang berlangsung begitu lama, mesra
Malam pun merasa tersakiti, dikhianati oleh bumi yang tiada mau peduli
Memohon bulan berhadir, pula bintang lekas melepaskan diri
Hingga terdengar oleh keduanya,
Pertanda percakapan hati harus diakhiri
“Esok aku akan kembali” kecup lembut hujan pada bumi, membawa pesan terakhir langit hari ini
Perlahan… kecup cinta dilepaskannya dari bumi, ditariknya
Meski berat, tetap ditariknya.. sembari mengempaskan segala rasa..
Dan hujan pun undur diri, menyibak kumpulan awan,
Bulan bintang terlepas dari himpitan, bercahaya menawan.
Dan kami ini,
Para pecinta di atas bumi
Menjadi bagian dari percintaan, tengah malam ini,
Tak peduli dingin yang menggerayangi persendian
Karena hujan mampu menerjemahkan perasaan,
Dari langit untuk bumi yang belum tersampaikan
Karena setiap tetesnya sarat makna perjumpaan teramat sayang untuk ditumangkan,
terlebih diabaikan
Tiap tetesan yang membawa pesan cinta tersembunyi
Yang hanya mampu dipahami bumi.

DIUSIR CANTIK

Sungguh hujan dan angin menjadi satu,
Petir dan kilat menjadi pelengkap rindu,
Malam nanti ia berjanji tuk kembali,
Sekedar meneguk haus dari luar jangkauan imajinasi,
Rindu ini milik siapa?
Meski ada tanda tanya, namun tak butuh satu jawaban,
Ohhhhh maaak, temaram hancur ditikam angin malam.
Berjalan menelusuri jejak yang rapuh,
Ditengah hujan dan dingin, kilat dan petir
Berhenti didalam lorong gelap,
Hanya untuk sekedar bersujud dan mengadu,
Berteriak, aku rindu,
Kedinginan, menggigil, kebingungan,
Ooohhhhh ternyata.......
Aku telah diusir cantik oleh kota Jogja,
Meskipun kemaren kita baru jumpa,
Kemaren kita menatap senja,
Melawan sang waktu,
Bermanja dengan sang rindu,
Milea,.....
Lupakah kamu dengan amarah sang malam,
Ketika kita diperangi kedinginan,
Waktu...
Maafkan kami telah membunuhmu,
Malam...
Jangan marah hanya karena kami terlambat pulang,
Rindu...
Bangunkan semangat baru untuknya dan untukku,
Ohhhhh... aku kan akan menjadi sang perindu,
Antara Kau, ibu dan dia.
Buat ibu,
Anakmu kini bukan hanya anakmu,
Sudilah kiranya anakmu berbagi rindu,
Pada wanita anggun sepertimu,
Pada sebuah senja di bukit itu,
Senja kota, bawa dia kepelukanku
Nanti.

Diusir cantik,
Jogja, 02 Oktober 2014

ANAK GUNUNG RITANG

***Gedung Sekolah***

Matahari pagi mengintip mesra menyambut makhluk titipan Tuhan yang ada dibumi, Seorang anak desa terpencil merupakan salah satu dari jutaan makhluk tersebut. Beranjak menuju Gedung Reok adalah rutinitasnya ketika matahari menyapa.  Oh iya sobat,  namanya Yudhi. Ia merupakan seorang anak yang dilahirkan di salah satu dusun yang amat terpencil dari sektor apapun yakni Dusun Padang Keladi ---bukan berarti tanah yang hanya di tumbuhi tanaman “keladi” yang berarti Talas dalam bahasa setempat--- namun demikian bukan berarti ia tertinggal sepenuhnya. Didikan organisasi sederhana itu membuatnya mengantongi sedikit keberungtungan dibandingan teman-teman sebaya yang ada di desanya. Kini dia merupakan satu-satunya utusan perwakilan pemuda desa yang berdiri hormat di kota budaya ini. Di keluarga inilah tempat yang ramai baginya saat itu meskipun sejatinya hanya terdiri Ayah, ibu, dia dan juga kedua adiknya. Namun kini semua suasana yang dulu  ia temukan dalam keluarga itu telah berubah dari semula rumah yang ramai kini berganti kostan yang ramah.
Pada tahun 1992, ia dilahirkan, tepatnya tanggal 22 november 1992. Seperti di atas, dia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga tidak terasa manusia kecil itu kini telah tumbuh menjadi anak-anak. Memasuki usia sekolah, tahun 1998 dia di daftarkan untuk menjelajah gedung kecil yang di bernama sekolah, ketika itu di Padang keladi hanya merupakan sekolah filial yang  masih menginduk pada desa Pongok. Pagi tiba, di hari pertama sekolah ia di dandan seolah anak perempuan yang ingin lomba menari. Ketika itu  teman kelas nya pertama terdiri dari 6 siswa, disana mulai terlihat gaya mereka seperti anak STM karena tidak ditemukan wajah anggun diantara wajah sangar mereka yang sehari-hari memegang peletik[1].  
Awan cerah dipagi hari mengiringi embun dingin nan sejuk. Berjalan dijalanan yang becek merupakan surga bagi beberapa anak di desa tesebut. Pun pagi ini sama dengan hari kemaren, meskipun matahari mengintip mesra namun sisa hujan semalam masih tergenang layaknya tumpahan air yang tak diterima bumi secara keseluruhan. Beberapa hari sekolah, tidak selayaknya siswa yang ada di kota yang merupakan lulusan TK, sehingga butuh perkenalan, kami disini terdiri dari 6 anak dalam satu kelas yang sejak dari lahir telah mengenal satu sama lain. Pada suatu pagi, layaknya sekolah yang lain, kegiatan pertama selain memperkenalkan diri  mereka juga diminta maju satu-persatu untuk mendendangkan sebuah lagu yang mereka hafal. Ketika 5 orang anak telah selesai, maka tibalah satu nama yang terakhir yakni Alex Candra, pada saat berada di depan kelas, ia sungguh berbeda dengan Yudhi dan temannya yang lain, ia bukan menunjukkan suara merdunya, namun ia menunjukkan wajahnya yang memerah hingga mengeluarkan butiran air mata. Sungguh tak disangka, seorang anak yang telah akrab dengan alam liar itu menangis hanya karana disuruh menyanyi di depan kelas.
“Alex, sekarang gilran kamu yang terakhir, silahkan maju kedepan” pinta pak guru yang akrab dipanggil pak Jun, nama lengkapnya yaitu Junaedi, yang tak lain adalah tetangga terdekat Alex Chandra.
Alex Candra maju kedepan papan tulis dengan ekspresi yang tak bisa dibaca, tanpa sepatah katapun  yang keluar dari bibirnya. Hingga 5 menit kemudianpun ia tetap membisu secara suara dan ekspresi. Keadaan tersebut membuat kelima temannya bingung sekaligus tertawa.
“Can, la kuang beehh nyanyi, lete neh kamek nunggu e”, ucap Sunyoto.
Die agik mace du’e itu toooh” sambut seorang teman yang bernama Mario.
Tiba-tiba suasana hening melihat air suci membasahi pipi putih nan mulus Alex, ohhhh ternyata ia menangis dikarenakan kekurangan asupan percaya diri.
Pukok e kau harus nyanyi Can, kamek semue lah uda nyanyi e, terserah lagu ape nak e, yang penting kau harus nyanyi” sambung seorang teman bernama Ranu sambil terbata.
“Iye Pak, lagu Cong Mak Ilong[2] kuang ke Pak?” Tanya Alex kepada Pak Jun.
Kini suasana berubah, Pak Junaedi yang akrab dipanggil pak Jun justeru yang bingung atas permintaan Alex Candra, karena hingga sekarang lagu Cong Mak Ilong tak terdaftar sebagai lagu Daerah apalagi lagu Nasional. Tanpa menunggu jawaban dari Pak Jun, Alex Candra langsung mendendangkan lagu tersebut dengan suara merdunya bak botol siisi pasir atau bebatuan kecil.
Cong mak ilong
Mak Ilong gaga batu
Dimana kucing belang
Disitu rumah hantu
Suasana sepi bagai rumah tak berpenghuni yang dipenuhi suara Jangkrik. Namun tiba-tiba, tanpa basa basi Alex Candra menyunggingkan senyuman yang merubah mendung dan hujan menjadi cerah layaknya kulitnya yang putih seperti keturunan China. Serentak kelima temannya bertepuk tangan atas keberhasilannya melewati tantangan terberat yang pernah ada dalam hidupnya.

***Air Sinsa***

Tidak lengkap rasanya jika seorang siswa kelas 1 SD berangkat kesekolah tanpa adanya bekal. Begitu juga dengan sekelompok siswa kelas 1 yang terdiri dari setengah lusin tersebut. Layaknya sekolah ditengah kota, merekapun membutuhkan bekal baik makanan dan minuman. Namun demikian makanan bukanlah hal yang wajib bagi mereka, karena itu bisa mereka dapatkan di lingkungan yang tak asing bagi mereka yakni hutan. Hutan dianggap sebagai restauran yang menyediakan banyak menu makanan bahkan jauh lebih lengkap dari restauran sekalipun. Bakat menjadi sekelompok pengusaha yang kreatifpun mereka tekuni dengan menciptakan minuman warna baru. Jika hari-hari mereka hanya minum minuman yang berwarna bening, maka pagi ini mereka telah menciptakan inovasi baru dalam kemasan yang lusuh dan berantakan. Layaknya kemasan minuman masa kini yang memiliki gas dan berwarna. Kini mereka tertarik untuk mencoba melakukan penemuan dengan membuat minuman dari pewarna. Adapun pewarna yang mereka gunakan berbahan dasar sinsa, namun demikian mereka menambahkan sedikit gula untuk menambah rasa manis dalam minuman meraka. Kekompakan dan kemandirian telah mereka dapatkan sejak lama. Ditengah abad yang serba ada begini sebetulnya mereka tidak heran jika bertemu dengan minuman sejenis dengan kemasan yang lebih rapi.

***Balik Untuk Tangkun***



Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna.
6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai).
Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-)

Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win


Make Money at : http://bit.ly/copy_win

Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win


Make Money at : http://bit.ly/copy_win

***Perpisahan***

bertahun lamanya ia berjuang jauh dari keluarga, terbayang jelas sosok perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus petani, seorang laki-laki setengah tua namun masih gagah yang berprofesi sebagai seorang petani sekaligus nelayan dan dua anak kecil perempuan yang pintar dan jelita. Itulah keluarga nya yang ia tinggalkan kini. Tetapi dimatanya mereka bukan petani apalagi nelayan, mereka semua adalah pahlawan karena profesi itu telah menghantarkannya   berdiri tegak didepan Perguruan Tinggi serta tertunduk hormat diatas kota ini.
Setahun yang lalu, terlukis jelas wajah lugu seorang ibu dengan kesederhanaannya yang menghantarkannya menuju bandara dan tidak lupa dua orang anak kecil perempuan yang tak lain adalah adik kandung nya. Saat itu salah satu pahlawan nya tidak ikut serta dalam momen disiang itu. Dengan wajah gembira yang menutupi kesediah perpisahan mereka tunjukkan itu tak lain merupakan karena itu hari pertama mereka melihat pesawat terbang secara langsung. Bahkan sejatinya salah satu adiknya merupakan hari sekolah seperti biasa, namun ia memilih untuk memupuk air matanya dilantai bandara saat melihatnya terbang ke kota. Ribuan nasihat yang mereka berikan padanya, namun satu pertanyaan yang muncul dari mulut siswa kelas 4 SD yang tak lain adalah adiknya sendiri...
bang ngape disetiap bahasa ade kosa kata menangis...?”
Terdiam sejenak ia untuk berfikir... namum belum sempat terjawab iapun berkata lagi..
“karne disanak juak ade kate tertawa”
Ia tertawa seakan melecehkan kata-katanya itu.. lalu ia bertanya..
maksudnye ape itu Ka..?” Oh iya nama adik nya itu Antika, jadi panggilan pedek ia padanya “ka”. Sedangkan adiknya yang satunya berumur 2 tahun dan namanya Agustri.
                menangis toh lambang sedih, susah payah, sedangkan tertawa itu lambang bahagia, jadi abang jangan takut susah payah karene kelak pasti ade bahagie  kata-katanya begitu bijak bukan,,..?
                Sejenak ia terdiam dalam lamunan, sisa detik-detik perpisahanpun mereka habiskan dengan bercanda sesekali merenung karena ingin segera berpisah. Detik berganti menit,  hingga tanpa terasa pesawat akan segera “take off” namu sebelum masuk tangis perpisahan menghiasi perjalanannya, tak lain adalah siswa yang begitu bijak namun kini menangis tersedu-sedu. Hingga ia sadar ternyata adiknya begitu sayang padanya meskipun hari-hari mereka tak lepas dari perselisihan. Namun itu tak mengurangi rasa sayang nya pada adiknya itu.
                Sobat... ketahuilah saat itu merupakan pertama kalinya ia berada dalam pesawat. Hingga berlahan waktu berganti, kabut yang menutupi pulau belitung kini berganti kepulau jawa. Dengan tekat yang kuat tibalah ia di jakarta bersama tetangganya yang sama-sama menuju ke Jogja.

***SOETTA***

                Sedang asyik menikmati pemandangan hidup di sekitar bandara Soekarno Hatta, tiba-tiba HP butut nya berdering setelah beberapa saat ia matikan. Dengan sedikit rasa kaget bercampur rasa malu karena bunyinya sungguh jauh berbeda dengan HP orang-orang zaman sekarang hehehehehe...  tak lain adalah panggilan dari ibunya.........
                “assalamua’laikum” panggilan ia jawab dengan sedikit canggung di antara ratusan orang yang memiliki wajah modern masa kini.....
                waalaikumsalam iapun mejawab.
Agik dmane...?” ibunya bertanya lagi.
“di bandara mak..... kini baru nelpon y....” singkatnya ingin  metutup telpon ibu dari ibunya.
“oh iye lah mun gitu seh, kini nelpon e mun lah sampai jogja ye, assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam”
 Jujur saja waktu itu kepalanya masih terasa pusing karena ayunan ombak yang ia rasa saat di pesawat. Tak kuasa ia menahan lapar setelah beberapa saat menunggu pesawat menuju kota tujuannya yaitu Jogjakarta. Akhirnya ia memilih untuk membuka bekal yang di sediakan oleh ibunya yang sejak subuh dipersiapkan khusus untuk seorang putra yang kini terbang meniti jembatan masa depan yang sulit diperkirakan. Oh iya sobat perlu diketahui bahwa ia terbang hanya ditemani 1 tas tang bertuliskan ”BANGKA BELITUNG’’ yang tak lain adalah pemberian seorang ATLET nasional yang tak asing lagi baginya. Namun tas tersebut berada didalam bagasi pesawat sedari tadi. Namun kini yang ada dihadapannya yang ia gunakan untuk membawa bekal adalah tas yang sudah ia gunakan sejak kelas 1 SMK yang mana sudah memiliki bekas operasi dimana-mana. Namun itu bukan masalah yang berarti baginya ketika ingat tas yang digunakan ayahnya untuk membawa bekal ke lahan sumber pencarian, itu jauh lebih tua yang jika diperkirakan seperti manusia ia telah dalam kondisi kritis. Tetapi tiba-tiba tas itu pula yang membuatnya tersentak sedikit malu saat membuka resleting tas yang tidak bisa di kompromi sehingga membuat perutnya bersabar sejenak. Kini keberadaannya serasa dipenuhi oleh mata-mata orang yang pada dasarnya belum tentu melihat dirinya.






[1] Peletik biasa dikenal dengan nama ketapel yang merupakan senjata tradisional setempat yang memiliki fungsi seperti senapan. Peletik terbuat dari kayu bercabang yang ditambah dengan beberapa karet sebagai energi pegas serta belulang yang digunakan untuk meletakkan peluru yang biasa terbuat dari batu.

[2] Cong mak ilong merupakan lagu yang hingga kini belum terdaftar sebagai lagu daerah setempat apalagi lagu nasional.

[3] Tangkun merupakan pohon yang di desain dengan kayu sebagai alat bantu untuk memanjat. Tangkun dibuat senyaman mungkin layaknya rumah tarzan. Tangkun digunakan untuk mencari punai dengan proses yang dinamakan MULUT.
[4] Pulut merupakan alat yang digunakan untuk menjebak burung. Pulut terbuat dari getah karet namun terkadang juga dibuat dari karet bekas yang dibuat layaknya lem.

MUDIK (ORA)

Yeeeyy 21 januari yang lalu liburan kampus. Waktunya berlibur dan pulang kampung, setelah 2,5 tahun tidak menginjakkan kaki disana. Senang dan semangat menjadi kaki kanan dan kiri. Dor..... aaaaaakkkk...... ternyata aku bukan lagi mahasiswa. Lalu ini masihkah namanya liburan? hehe jelas iya, karena saat ini saya masih tidak berbeda dengan mahasiswa. 
Tinggalkan saja dimana dan apa kerjaanku saat ini. Pulang kampung, adalah tradisi yang dipegang erat bagi mereka yang hidup merantau. Belitung merupakan pulau dimana hati ini dilatih untuk menjadi perantau sejati. Sejak SMA aku sudah tidak lagi seatap dengan dia yang melahirkan ku. Ibu, sang malaikat tak bersayap yang nyata bukan layaknya peri dalam dunia hayalan. Bapak, superman yang tanpa topeng, ia hanya memiliki pacul tuk membangun sebuah atau dua buah ladang. Kuat bagiakan Little Krisna. :-) ku yakin mereka telah menerima penghargaan dari alam dimana mereka berkarya.
Sejak pertama kuliah, bapak dan ibu hanya membekaliku dengan sedikit modal nekad. Bagaimana tidak, ketika dunia kerja sudah diambang mata, kelulusan SMA sudah menjadi nyata. Tak disangka dan tak diduga tawaran untuk menyambut bangku kuliah kini telah menjadi fakta. Sejak itu tak ada kata dari bibir, hanya getar dalam hati, dengan sebuah kalimat tanya "mimpikah ini?". Wajah letih bapak yang saat itu diselimuti semangat untuk melihat anaknya memakai toga kini tepat didepan mata.
"mau kuliah dimana?" wajah itu bertanya layaknya tanpa beban.
"sebentar pak, saya tanya-tanya dulu" semangat yang bapak tularkan kini ada padaku.
Tak lama berselang, aku harus memilih tempat kuliah yang pas. Jogja merupakan pilihan tepat karena saat itu dan "kini" Jogja masih dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar. 
Sejak awal kuliah tekad ini sungguh kuat. Tak ayal semangat ini sering menjadi pegangan mereka yang membutuhkan. Dalam hati berniat "aku harus lulus tepat pada waktunya dan tidak pulang sebelum wisuda". Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga  tiba kini aku diujung lorong waktu dimana toga yang dulu bapak harapkan siap dikenakan. Bahagianya tak kurang satupun sampai ku kabarkan 16 Agustus 2014 aku kan wisuda, setelah menjalani proses jatuh bangun selama kurang lebih 4 tahun.
Kembali aku bertarung dengan sang waktu, berharap sebuah kajaiban setelah terdengar sayup haru oleh angin pulau Pongok. Oh iya.. pongok merupakan nama tempat dimana keluargaku menaruh hidup dan kehidupan. Pelan pelan ku dengar keadaan keluarga yang yak memungkinkan untuk hadir ditengah hari yang ku hitung tepat 4 tahun sejak duduk dibangku kuliah. Senyum? sungguh tak lupa untuk hal satu itu. Mencari selimut untuk sembunyikan sedih. Mencari hati tuk sembunyikan hati. Bagaimana tidak, detik itu menderu semakin dekat hingga suatu pagi ku terbangun oleh riuh gaduh tetangga kost yang siap siap ingin di wisuda. Ohhhhhhh ternyata aku juga. :-). Dimana mereka? ku berlari menuju sebuah ruangan yang ku ingat disitu ada keluargaku. Benar saja... ternyata keajaiban itu ada. Disana ada keluarga yang hadir dan sedang bersiap hadir pada upacara wisudaku. :-). "selamat datang" ku ucapkan seraya membuka tabir kenyataan yang ku rias dalam mimpi semalam. Mereka keluarga memang, namun bukan bapak atau ibuku. Tak apa, senyumlah selalu sebagaimana pesan ibu.
Hitungan waktu kini semakin berada dalam dimensi terkecil. Bukan lagi bulan apalagi tahun. Kini hitungannya tinggal detik. Jujur saja sampai pada sedetik sebelum menaiki podium didepan rektor, aku masih berharap wajah itu hadir ketika membalikkan badan ditengah keramaian upacara. 
Hmmmhhh sudahlah. aku mau mudik saja. Kembali menghitung mundur waktu. Sejak diwisuda, tradisi mudik sudah hancur dalam diri ini. tak ada nama pulang kampung (maunya). Sejak itu pula memutarkan otak tuk bertahan dalam gemerlap kota Pelajar ku putuskan. Sampai pada 20 januari rasa rindu ini mencapai puncaknya. Benar saja begitu banyak berbelit jalanku untuk memutuskan pulang. Rasa takut terjebak nyaman dalam sebuah kampung halaman menjadi penyebab. Bukan tak mau, hanya karena ku pahami area dan "track record" disana. 
"Bapak sakit" 
Sejak itu tanpa berpikir ulang, ku berlari menuju agen sebuah maskapai. Tepat besok pagi aku harus pulang kampung. Manambah rindu akan sebuah raut wajah. Senandung rindu ini kian berkecamuk bercampur khawatir terhadap malaikat tanpa sayap dan supermen tanpa topeng. :-)
"Pulanglah nak" sungguh itu membuat mata menangis.
_____Bu, anakmu pulang terlambat, tutup saja pintunya, namun jangan dikunci.

SAJAK UNTUK WANITAKU

Dari tulang rusuk lah kau diciptakan
bukan kepala
sebagai atasan
pun bukan kaki
untuk direndahkan
melainkan dari satu sisi
untuk dijadikan pendamping

Dekat dengan tangan
untuk dilindungi
Pula dekat dengan hati
untuk dicintai

Jogja, 27 februari 2015
Yudhi Doank

SELAMATMALAM EXPRESSO

Hujan, 1% adalah air, sedangkan sisanya 99% adalah kenangan. Oh iya ini malam apa ya? Lupa waktu kalo udah kayak gini. jarum jam seakan mati, malam seakan ditikam, hujan bagaikan butiran mutiara yang jatuh dari langit.
Toshiba dan Asus adalah dua makhluk hidup sebagai saksi dimana kami berada. Bukan manusia, karena semua seakan tak ada. Bukan mati, hanya memang tak kami hiraukan. Catatan malam tentang kami mungkin memang sudah berakhir, namun peduli amatlah, makan aja belum. hehehe
3 maret adalah angka yang bisu dimana rasanya ingin ku bunuh.Sejak pagi aku sudah disibukkan dengan urusan ke-imigrasian. Hingga sore tepat --karena matahari memang tidak ada, padahal baru jam 3-- aku baru menginjakkan kaki kedalam ruangan 3x3. Benar saja, jika sejak siang hari jogja memang sudah dibuat menangis oleh kekejaman alam yang senantiasa tidak bersahabat. Entahlah mungkin menangisi negeri ini. Peduli amat, mbah Amat aja ga pernah peduli tuh. Sayangnya disini nggak ada mbah Amat, yang ada hanyalah sekumpulan anak muda tapi tidak ada anak mudi --aturan baku bahasa-- disini.
Ada banyak mata yang memang tidak saling mengenal, seperti diawal, makhluk bernama toshiba dan asus adalah dua insan yang tidak saling mengenal. tapi ada yang punya. Mereka tidak paham akan hujan diluaran, hanya saja melihat sang tuan tersenyum sepanjang waktunya. bagaimana tidak, jika diibaratkan biro jasa, mereka berdua memang sangat berjasa. Mereka menjadi agen curhat para tuannya. Bahkan tak jarang mereka sakit sakitan. Ada juga yang mengalami kerusakan organ dalam. Ku yakin dua makhluk bernama toshiba dan asus ini sedang lelah. Hannya enggan untuk berkata.
Sudahlah... mereka berdua hanya makhluk penghias malam ini. Bukan mereka yang ingin ku ceritakan. Kalau boleh aku mau berpuisi sebentar.
Dari tulang rusuk lah kau diciptakan
bukan kepala
sebagai atasan
pun bukan kaki
untuk direndahkan
melainkan dari satu sisi
untuk dijadikan pendamping

Dekat dengan tangan
untuk dilindungi
Pula dekat dengan hati
untuk dicintai

Semua bisa diartikan dalam makna yang sebenarnya. Namun juga jika ingin diartikan dengan makna khiasan, maka malam ini sangatlah tepat. Entahlah.... panjang pertimbangannya untuk berpuisi ditengah hujan begini. Kasihan pengunjung Expresso, nanti keburu mau pulang padahal masih hujan. hehehe. Yahh ketika makhluk bernama cinta ku ceritakan maka tak cukup waktuku disini. Betapa tidak, makluk yang satu ini berhasil menyembunyikan sebuah pisau yang memang sempat menyayat tadi sore. Gubraaaak... Ehhh ternyata ada orang disamping. heheh peace mbak, kayak orang berantem aja. Nggak teguran gitu. Loohhhhh siapa yah? kutanya pada pisang dan segelas kopi? mereka bingung. Tanyakan lagi pada roti. Apalagi roti... mukanya aja udah dibubuhi dengan cokelat gitu. mana bisa dia melihat. Tapi sang kopi berdelik seolah mengatakan
"hey... dia yang sering kau ceritakan dulu, ketika kau masih setia padaku ditengah malammu, kamu kan sering bercerita tentang Milea, kurasa itu dia."

Ohhhh.... tuh kan, sering lupa waktu. udah ah. udah malam.... terimakasih Kopi --setengah cokelat-- telah menyadarkan ku. :-*

BUNDA DAN WANITA

Bunda kutinggalkan dengan air mata
dan wanita pergi atas nama cinta



Rindu ini kian tak bertuan.
Jogja, 30 maret 2015
     Belum kering embun semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian tertutup  pikiran kian melayang. Jauh tak terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada didepan mata.
     Haramkah hadirku? Entahlah, kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa  duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita sama-sama tau.
     Detik ini aku kian sadar, mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa. Tuan si rindu ini kian tak ada.

RINDU UNTUK BAPAK

Suatu pagi seorang bapak muda duduk dengan putranya. Ditengah kegundahan hatinya karena sedang sakit, bapak tersebut tidak bisa bekerja seperti biasanya. Dia duduk dibangku panjang sambil bercengkrama dengan putra kesayangannya itu.

Putra tersebut sedang berusia 3 tahun. Masih terlihat jelas rona bahagia sang bapak karena anaknya kini kian tumbuh besar. Dipeluknya erat anak tersebut karena udara semalam masih menyisakan embun dipagi itu. Acap kali sang anak bertanya deangan bapaknya
Pak, itu burung apa” sang anak bertanya kepada bapaknya sambil melihat burung diatas pohon rambutan didepan rumah
itu namanya burung kelayang” jawab sang bapak sambil memeluk putranya dengan kasih sayang.
Berulang kali sang anak bertanya tentang nama burung itu. Mungkin ada sekitar belasan pertanyaa yang diberikan oleh anak tersebut kepada bapaknya. Semua pertanyaan tersebut adalah sama. Dengan sebanyak itu pula sang bapak menjawab pertanyaan putranya dengan sabar. Tanpa marah sedikitpun. Malah dijawab sambil memeluk erat si putranya itu.
Berlalunya waktu tanpa terasa anaknya sudah tidak lagi berumur 3 Tahun. Anaknya sudah menduduki bangku SMP dan mulai beranjak remaja. Kasih sayang sang bapak tidak sedikitpun berkurang. Sama seperti orang tua yang lain. Bertumbuhnya usia sang anak kiti seakan tidak dirasa. Hingga ia membelikan sepeda untuknya bersekolah. Berbagai liku kehidupan dalam sebuah keluarga kecil itu terjadi. Hingga satu hari ia menyadari  sang anak kini telah tumbuh menjadi anak yang remaja. Ketika anaknya belum pulang sekolah padahal jam sekolah sudah terlewati sekian lama, perassannya kian menjadi kacau. Pada saat itu anaknya sekolah di sebuah SMP dengan waktu dimulai siang hari hingga sore hari. Anaknya tidak sendiri, ada 6 orang siswa lain kini yang mengayuh sepeda bersamanya.
Sore itu anaknya belum juga datang sekolah, hingga jarum jam menunjukkan angka 7 tanpa matahari terbit alias jam 7 malam. Perasaan gundah seorang ayah kini kian kuat. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran tersebut memiliki alasan yang kuat mengingat medan yang dilewati begitu terjal. Bagimana tidak, hutan sepanjang 6 Km mereka lewati setiap hari menjadi kekhawatiran setiap orang tua yang menyekolahkan anaknya disana. Tidak terkecuali bapak muda yang beranjak tua tersebut. Hingga melewati batas kegundahannya, bapak muda tersebut menunggangi sepeda Phoenix kesayangannya untuk memastikan apa yang terjadi pada anaknya.
“Bu, bapak menyusul anak anak dulu, kok jam segini belum juga sampe rumah” ucap sang bapak muda kepada istrinya yang juga semakin gundah.
“iy pak, cepat dipastikan anak-anak itu, kok belum juga pulang” ucap ibu muda yang tidak kalah gundahnya
Dengan sepeda tuanya yang dihiasi rasa gundah, sang bapak kini semakin kuat menggenjot pedal sepedanya hanya ingin memastikan putra kecilnya dulu. Dimana dia? Ada apa dengannya? Mengapa kini beum tampak dimatanya? Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya. Hingga ditengah perjalanan sang bapak menghentikan sepedanya dengan keringat bercucuran di kening tengah bayanya. Oh... alangkah sayangnya sang bapak kepada anaknya hingga setengah perjalanan ia memastikan keadaan si putranya. Setelah ditemui, keringat sang anak membuktikan bahwa rasa letih nya kian ada. Ternyata salah satu dari 6 sepeda anak tersebut tersebut mengalami putus rantai sepeda. Dengan modal setia kawan, kelima teman anak tersebut turut menuntun sepedanya. Termasuklah si putra bapak yang setengah baya tersebut.
Perasaan lega terpancar jelas di wajah bapak tersebut, kini tak ada lagi gundah dihatinya. Semua pertanyaan yang selama ini berkecamuk dikepalanya sudah terjawab. Perasaan senangpun kian muncul bercampur perasaan bangga melihat kekompakan yang muncul dari ke-6 anak manusia tersebut. Dengan santai sang bapak ikut menuntun sepeda tuanya hanya karena ingin melihat dan bergabung dengan kekompakan si anak. Dengan perasaan bangga sng bapak tersenyum dan bergumam dalam hati “syukurlah anak-anakku tidak kurang satu apapun”
Sampai dirumah sang bapak langsung menuju sumur dan  menimbakan air untuk anaknya mandi. Sungguh tanpa lelah ia menyiapkan segalanya. Dan ibu yang sedari tadi menyiapkan makan malam. Setelah mandi mereka makan malam dengan ditemani lampu neon sebagai media penerangan. Meskipun tertunda, namun makan malam mereka tidak kurang satu apapun, malah bertambah bumbu keharmonisan dalam keluarga kecil itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tibalah waktunya sang bapak kini harus melepas putra nakalnya. Bukan melepas ke hutan, karena itu memang dunia mereka. Namun kini harus melepas kekota. Sampai tanpa terasa sang putra kini tidak sendiri, hadir pula seorang putri kecil sebagai penghias rumah. Sebagai teman sang ibu untuk bercanda. Hingga ketika putra kecilnya dulu melangkah kan kai ke kota, mereka tidak terlalu kesepian.
Dalam kesehariannya sang bapak terus saja kekebun ladanya untuk sekedar membunuh waktu. Belum sewindu namun sudah rindu. Bapak yang dulu dengan sabar memapah putranya untuk belajar berjalan, kini tidak tampak lagi wajah kecil itu. Sampai pada satu hari ia menerima telpon dari sang anaknya
“Pak, sekolah meminta bapak untuk datang dalam pengambilan rapot” ucap putranya yang kini hanya terdengar lewat telpon.
“Kapan bang? Memangnya tidak bisa diwakilkan? Minta paman yang datang bisa tidak?” seraya mengajarkan kepada putrinya agar memanggi putra kecilnya dulu dengan panggilan abang.
“Minggu depan pak, kata kepala sekolah akan lebih baik orang tua sendiri yang datang” jawab sang putanya dengan sopan
“oohhh baiklah, diusahakan bapak datang yah” demikian sang bapak menjawab sambil menenangkan hati si putranya.
Bagai ditampar, kini sang bapak yang dulu masih muda, kini kian merasa tua. Jelas, karena kini juga ia menyadari kalau putra kecilnya dulu sudah beranjak dewasa. Ternyata saat ini dia sudah menduduki bangku kelas 3 SMK. Jelas sudah kalau usia bapak muda itu kini beralih semakin tua. 5 menit setelah berbicara pada anaknya ia sempatkan untuk merenung sambil bergumam
“ternyata putra kecilku dulu kini sudah beranjak remaja. 3 tahun sudah ia jauh dariku. Tak kulihat lagi tangisnya yang dulu. Pun begitu dengan tawanya. Bagaimana kabarnya sekarang? Masihkah kecil seperti tempo hari? Atau sudah lebih tinggi dari aku? Demikian gumamnya dalam hati.
Suatu pagi, matahari yang tidak juga muncul karena keangkuhan sang cuaca dan awan gelap. Benar saja, pagi itu begitu gelap, namun kapten kapal nelayan memberikan kode seakan jangkar siap diangkat. Sang bapak nekad untuk memenuhi panggilan sekolah untuk mengambil rapot anaknya pada besok hari. Dengan menumpang satu-satunya transportasi yang memungkinkan itu ia tetap memberikan senyum. Dermaga pulau pongok menjadi saksi betapa rasa rindu dan cinta sang bapak begitu besar terhadap putranya. Bukan tidak khawatir dengan ketinggian gelombang, namun cinta pada putranya melebihi kekhawatiran itu. Bukan tidak takut melihat ombak didermaga yang kian tinggi, namun rindu pada anaknya telah menyembunyikan pisau ketakutan itu.
Setelah meewati perjalanan laut kurang lebih 6 jam, dengan kepala pusing akhirnya ia tiba didermaga Tanjungpandan belitung. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kabar yang tak enak selama didalam kapal. Benar saja, diantara banyak penumpang kapal nelayan tersebut, ada seorang remaja putra yang mengalami pusing yang tak terhingga. Sampai pada titik puncaknya ia pun muntah diatas tubuh bapak tengah baya itu. Inginrasanya marah, namun remaja itu menginatkan ia pada tujuannya berangkat. Ia membayangkan wajah yang sekian lama tidak ia lihat. Wajah yang dulu sering ia ajak melihat burung kelayang didepan rumahnya. Oleh karena itu amarahnyapun redam dan berpura seolah tidak terjadi apa apa. Meskipun dari bercak kemejanya terlihat jelas oleh sang anak bekas muntahan seorang remaja putra.
Keesokan harinya, iapun pergi kesekolahan si putranya. Bedanya dulu ia yang membimbing putranya itu dan mengantarkannya dengan sepeda tua ketika SD. Sekarang kembali putranya memimpin langkah untuk menuju sekolah yang ia lihat baru baginya. Dulu putra kecilnya menggunakan seragam kerah putih, kini sudah beralih menggunakan putih abu abu. Sampai pada giliran nama putranya dipanggil, wajahnya sungguh sumringah. Mendapati nilai putranya yang kian memuaskan. Yaaahh... mungkin rasa rindu dan sayang atas putranya menjadi bumbu penyedap senyum atas nilai yang ada ditangannya.
Karena kebunnya kian dirindukan, serta ia megitu dibutuhkan oleh tanaman yang ada dikebunnya, iapun garus meninggalkan putranya dan kembali ke rumah. Sama seperti pergi, kembali pun ia menggunakan kapal nelayan yang kian semakin mengerikan untuk ditumpangi. Bukan karena rusak, namun cuaca memang kini sedang tidak bisa bersahabat. Gelap dilautan lebih menakutkan jika dibandingkan gelap di gunung. Yahh mengertilah maksudku.
Dan hari ini, tepat di gedung ini. Tempat dimana jutaan mahasiswa di wisuda. Tempat yang dulu dan hingga kini dikenal kota pelajar dan kota budaya. Ada seorang anak yang rindu akan ayahnya. 3 Maret 2015 pagi, putra kecil kesayangan sang bapak kini berada di antara ratusan manusia. Mengantri digedung Imigrasi Yogyakarta. Bisa ditebak bukan, orang pribumi berurusan ke kantor imigrasi. Yah... dia berdiri di line antrian dengan membawa status pemohon untuk penerbitan paspor. Putra kecil sang bapak dulu kini sudah berdiri dan tertunduk hormat dikota budaya ini. Bukan tentang mau kemana ia pergi dengan paspornya itu, namun tentang sebuah kenangan yang ada ditengah hujan angin kemaren.
Ditengah antrian yang kian memanjang, ada seorang bapak yang kian menua dengan menggendong putra kecilnya. Dengan penuh kasih sayang bapak dan anaknya berbicara
“Pak, itu burung apa?” tanya anak kecil itu.
“itu burung gereja” jawab sang bapak, dengan penuh kasih sayang dan pelukan
Pertanyaan yang sama juga bukan hanya sekali itu, namun berkali kali anak kecil itu bertanya. Sebanyak itu pula sang bapak menjawab dengan kasih sayang, tanpa memarahi anaknya sedikitpun. Sontak kejadian itu mengingatkan seorang anak yang kini rindu akan bapaknya. Mungkin kini tak semuda bapak itu. Yang pasti anakmu kini kian rindu.
Yogyakarta, 3 Maret 2015 oleh Yudhi Doank
__Bapak, anakmu kini kian jauh, mungkin kan menjelajah dan keluar dari negeri antah berantah ini. Cerpen ini didedikasikan untuk Bapak yang jauh disana. Putramu kian sayang dan rindu.
 

Blogger news