klik

Pages

Blogger news

Thursday, July 2, 2015

SEPI

Memang
Angin menderu tak berarti badai.
Tanyakan saja pada alam,
dimana kita?
Seandainya dipantai
Pastilah angin kan menderu,
karena angin menggesek laut luas dan ombak ada.
Hingar bingar ombak dipantai menjadi hal yang lumrah,
Jika tentram dan diam maka dihutan lah kita.
Tuhan, aku dimana?
Ketika aku sepi dalam keramaian.

Wednesday, July 1, 2015

Rindu Tak Bertuan Tanpa Jilid

Rindu tak bertuan tanpa jilid. Pohon itu kian berbuah lebat dan besar, segar dipandang apalagi dipetik lalu dimakan. Begitu lingkungan ku kini. Hidup diantara kesegaran pepohonan yang kian tak terbatas. Hutan? bukan hutan, ini hanya perkebunan warga. Sungguh mulia hati seorang petani dimana proses mereka selalu dihadapkan dengan alam, lalu hasil taninya selalu dihaadapkan dengan manusia. ribuan bahkan jutaan manusia yang menikmatinya. Mungkin itulah sisi kehidupan para petani yang harus dijadikan teladan. pergi pagi dengan sepatu boat, baju yang cenderung kumal serta caping untuk menutupi sinar langsung matahari ketubuhnya. Ada apa dibalik semangat pak tani itu?
Mukmin, begitu namanya. Seorang pribumi kelahiran Pattani, Thailand sekitar 29 tahun silam. Kami berkenalan ketika pertama bertemu di masjid yang ada didekat rumah dinas tempat saya tinggal. Ketika itu kedatangan saya mengundang perhatian semua warga sekitar. Hukum alam memang, jika ada sesuatu yang baru pastilah akan akan menjadi titik perhatian, dan wajahku adalah wajah baru. Wajah khas Indonesia yang pas pasan namun cenderung agak keren dan kece kekinian. Mungkin ia kasihan ketika melihatku kebingungan ditengah bahasa yang tak senada dengan Indonesia. Dengan perlahan dia mengajak kuberbincang menggunakan bahasa melayu. Sebagian besar penduduk asli Pattani bisa berbahasa melayu karena letak perbatasan dengan Malaysia.
Ohhhh bukan itu yang ingin ku ceritakan, bukan asalnya, bukan bahasanya akan tetapi Satu kata darinya. yaitu Semangat. Ku ketahui beberapa hari belakangan  ia adalah seorang petani karet dan juga tentunya petani berbagai macam buah buahan. Istrinya adalah seorang rekan guru di sekolah tempatku mengajar. Ia bercerita perjuangannya untuk mendapatkan istrinya tidaklah mudah mengingat tradisi yang ada di thailand ini semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan, semakin tinggi pula biaya pernikhan yang diminta (mahar). Istrinya adalah seorang Strata 1 atau (BA). Namun dia berkata, apalah daya ketika hati sudah memilih, membelah lautan demi menyusuri jejak sang Ayah seorang gadis akan dilakukan. Singkat cerita ia menikah dengan istrinya kini.
"Bulan berganti bulan, tahunpun kini berganti tahun, hidup kami semakin bahagia" Benar saja setiap hari kulihat mereka berboncengan sepulang dan pergi istrinya kesekolah. "Setiap hari saya ke hutan, kadang letih, lemas (ketika puasa) dan panas tentunya, tapi semuanya berbeda ketika saya sudah menikah, semua itu tidak terasa, karena setiap hari saya merasa ada yang menunggu saya pulang kerumah, jadi semangatnya berkali kali lipat yang saya dapatkan, dek". 
"Sudah punya calon istri?" Sontak pertanyaan itu ditujukan kepada saya, sambil tersenyum saya tidak menjawab pertanyaannya. Saya hanya diam dan tersenyum meskipun pertanyaannya telah ia lakukan berulang ulang. "saya tau pasti sudah ada, sepulang dari Thailand, menikahlah, tidak ada yang perlu kau takutkan. Dulu duit saya habis untuk meminang saja, setelah menikah ada ada saja rejeki" kembali saya hanya tersenyum mendengar wejangan lelaki muda ini. Ketika kamu rindu dengannya, sekarang kamu akan tersiksa, karena tak ada tempat untukmu menaruh kerinduan itu. Namun ketika kau telah menikah, kerinduanmu akan terbalaskan, karena rindumu kian bertuan
Serasa dicambuk, selama ini beberapa tulisan yang kubuat dengan judul Rindu Tak Tertuan. Mungkin secara bahasa ingin ku kaji mengingat kata "TUAN" memang berasal dari kata dalam bahasa melayu. Akan tetapi mengapa kata kata itu muncul seakan dia tau apa yang ada dalam pikiran lawan bicaranya. barangali benar rinduku sekarang memang tak bertuan. Semua ini masih tentangnya, Tuhan. Ampuni hamba telah membocorkan rahasia hati antara aku dan Kau. 
Kini dia juga tidak tampak didepan mata, menghitung hari, ini adalah hari ketiga dalam hitungan manual. Entah sudah berapa Ton kerinduan yang terkandung. Milea, kau terbuat dari apa sih? apa iya terbuat dari segenap rindu yang kini belum waktunya ku jamah? Atau masih ada terbuat dari segumpal harapan untuk peranku nanti? Selamat siang Milea. :-)

Monday, June 15, 2015

RINDU

Dalam
Rupa wajah kian samar
Buram tak berbinar
Melebur jadi satu dalam gelap
Dalam mendung rantau yang tak beda
Kau tetap wanitaku
Wanita yang cakap tanpa dandanan
Setiap penaku digoreskan
Butir ingat tentangmu pasti ada
Meski dalam gelap dan kutulis meraba
Apa kabar Juwitaku nan jauh disana

Thailand,      Summer 2015

Rindu Tak Bertuan

Bunda kutinggalkan dengan air mata
dan wanita pergi atas nama cinta



Rindu ini kian tak bertuan.
Jogja, 30 maret 2015
     Belum kering embun semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian tertutup  pikiran kian melayang. Jauh tak terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada didepan mata.
     Haramkah hadirku? Entahlah, kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa  duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita sama-sama tau.
     Detik ini aku kian sadar, mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa. Tuan si rindu ini kian tak ada.

RINDU TAK BERTUAN (Sekilas perjalanan Indonesia-Thailand)

Jangan berteman dengan jarak dan waktu jika takut berjumpa rindu. karena ia adalah anak dari keduanya –Yudhi Doank—
Yogyakarta, ketika itu dan hingga kini masih tetap menjadi kota istimewa. Entah dilihat dari sudut pandang yang mana. Bukan karenaa susah dicari letak keistimewaannya, namun karena sulit membedakan yang mana yang tidak istimewa dari kota itu. 4,5 tahun hidup berdampingan dengan berjuta kenangan dikota budaya itu, sampai diri ini kian tak ingat kampung halaman. Kota yang begitu istimewa, kota yang begitu bersahaja serta kota yang kian menyiksa. Benar saja, hingga detik ini begitu banyak sarjana diwisuda disana. Namun tak sedikit dari mereka terjebak indah diadalamnya. Tersiksa bukan? Deraan yang datang dari orang tua untuk meminta kembali. Deraan dari keluarga yang terus bertanya kapan pulang lagi. Deraan dari tetangga yang mengatakan “kian lupa dengan kami”
Hujan malam itu kian deras, butirannya kian tak terbendung oleh baju hujan yang umum dipakai pengendara roda dua. Isyarat kasih tentang Jogja terukir ketika malam. Duduk berdua diangkringan seraya menikmati sajian Mas Rudi sepertinya menjadi kebanggan tersendiri. Pilihan tepat untuk mengukir sebuah kengangan memang tidak harus mewah. Angkringan dan gelap malam telah membuktikan. Malam itu sebuah janji untuk kain bersua dilayangkan. Berdiri termenung didepan kamar yang kini kian kosong membuyarkan lamunan tentang satu nama angkringan. Teingat akan janji menitipkan sebilah ilmu dalam bentuk buku. Dimana akan ku taruh? Bagaimana akan ku titipkan? Kapan lagi waktu untuk ku berjumpa sang pemilik rindu? beribu pertanyaan yang kian tak terjawabkan. Mungkin ruang sederhana kala itu bosan melihat si empunya yang kian berjalan tak terarah. Turun naik, keluar masuk, bahkan ngomong sendiri juga sepertinya dilakukan.
“jika tidak bisa malam ini, besok pagi pagi saja nitip bukunya” kalimat yang kian menghancurkan malam. Ingin rasanya marah, namun sama siap? Marah sama hujan? Alangkah bodohnya. Palang pintu rumah kost mungkin ikut menangis melihat si empunya yang kian bersedih. Marah sendiri bukan solusi, menahan diri sepertinya menyakitkan hari. Nekad? Yaaaa....  malam itu nekad keluar dengan memakai baju hujan bapak kost. Tanpa izin? Tak mengapa, karena beliau begitu baik. “aku kesana sekarang ya” isyarat bulan dalam hujan kian bersinar, karena pantulan cahaya kota Jogja yang tak pernah padam. Ketika sampai pada satu pintu, bibir kian tersenyum, meski lidah kian kelu dan kaki lelah menunggu. Memang benar, bunga tak selamanya mekar dan indah, namun selama pohonnya hidup, akan muncul bunga baru ketika musim bercumbu dengan waktu. Begitu pula dengan kekesalan, tetap saja namanya kekesalan yang beradu dalam api menunggu yan, diatas wajan rindu yang tak bertungku. Namun ketika bertemu wajah pemilik rindu, sumua seakan sahdu, merdu bahkan kecewa pun kini enggan muncul dari raut muka. Iya.. malam itu kami bertemu, bahkan sampai pagi, hanya berbeda alam yaitu alam mimpi.
Pagi ini, kota indah nan istimewa ini mengajarkanku arti keberadaan, arti meninggalkan, arti pertemuan serta arti perpisahan. Wiwi –adik sepupu yang kian setia—mengirimkan pesan sebagai pengingat bagiku untuk bangun pagi. “PING!!!    PING!!!   PING!!!” pesan yang kian mengandung multi tafsir. Namun itulah kemampuhan dari dunia tekhnologi. Pesan itu mengisyaratkan bahwa harus bangun. Meskipun sedikit terlambat, niatnya cukup ku apresiasi dengan sedikit berpura seakan aku bangun karena PING!!! Darinya. 2 jam sebelum PING!!! Itu datang mata ini sudah kian melebar. Bahkan badan kian wangi dan bersih.
“Waktu terasa semakin berlalu..
 tinggalkan cerita tentang kita.....
akan tiada lagi kini tawamu..
tuk hapuskan semua sepi dihati...
Alunan merdu suara ariel begitu cocok dengan nuansa hening pagi ini. Semua benda seakan mati. Jarum jam ditembok menunjukkan angka 8.50 yang artinya tinggal 3 ham lagi semua akan berubah. Bukankah hidup ini begitu indah ketika menunggu apa yang diinginkan? Sepertinya sangat tepat. Inilah mimpi yang kian ku tunggu sejak kelulusan sarjana dulu. Hanya saja semua terhalang restu. Ibu, ia tidak begitu paham memang tentang seluk beluk dunia, tapi satu bagian dunia yang begitu berarti baginya yaitu anak. Namun satu pelukan sepertinya begitu ampuh untuk meminta doa dan restu darinya. Kini sempat dilayangkan sepucuk surat pendek lewat angin. Sepotong kasih dalam ucapan terimakasih. Seutuh sayang dalam rangkaian kata. Namun kian tak berbalas.
Sedari bangun tidur hingga subuh, begitu banyak pesan yang kian dilayangkan, namun kian tak berbalas. Beralih kepada panggilan telfon, namun juga kian tak bisa. Yahh.. benar saja, ibu dan keluarga memang tidak disampingku pagi itu, mereka ada diseberang dunia kecil Indonesia. Dipulau yang kian kecil dan masih terpencil. Padang Keladi, Pongok, yang merupakan pulau dimana mereka berada. Pulau yang mengandung banyak penduduk namun dari berbagai mangsa. Bangsa manusia salah satunya. Detik itu kini kan melaju, berpacu dan berbanding lurus dengan langkah kaki ini untuk meninggalan alamat yang setengah palsu ini. Alamat kost, Jl. Perintis Kemerdekaan, Gg. Mangga.
Kembali kepada pemilik rindu, bukan hanya keluarga yang notaben bapak dan ibu. Namun sesosok makhluk astral yang anggun  mirip ibu. Sembari resah menunggu kabar dari ibu yang sedari subuh tidak bisa dihubungi, ingat akan rindu semalam yang memberi wajah kian merdu.
Milea, aku pergi
“Kamu beneran ga bisa datang?” sepucuk surat cinta berjenis elektronik kian melayang dengan sendirinya. Ajaib memang (kata orang awam). Pagi ini, bersama seorang teman, kaki kami bertekad melangkah namun bukan meninggalkan seperti yang ku katakan. Ternyata kini juga belajar menitipkankan, belajar percaya dan yakin pada satu doa. Sungguh perjalanan ini memang masih panjang. Kini hidup bagaikan dalam sebuah trowongan yang gelap, namun percaya atau tidak, semua trowongan akan menemui ujungnya. Akan ada setitik cahaya dalam sebuah kegelapan, bahkan dari kejauhan akan segera tampak nantinya. Thailand, begitu manis kata itu untuk diucapkan. Namun masa itu sangat sulit tuk ku bayangkan kalau pagi ini kami melangkah ke Kuala Lumpur, malaysia untuk selanjutny menuju Thailand. Milea, pergi memang berarti meninggalkan, namun dalam sebab akibat tentu ada makna lain. Pun begitu dalam pelajaran bahasa, dalam sebuah bahasa terdapat antonim yang berkata “pergi dan pulang”. Ku percaya sepenuhnya bahwa pergi pagi ini akan pulang disore hari, entah tanggal dan bulan berapa.
Buyar lamunan selam diperjalanan menuju Bandar Udara Internasional  Adisucipto Yogyakarta. Semakin dekat kaki ini melangkah, derupan suara kaki lain pun kian menggema juga. Mata tersadar ditengah macetnya jalanan menuju Bandara. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt...... khas suara handphne yang kian batuk. “Incoming Call My beloved parents”. Bibir ini tersungging membisu ditengah kemacetan jalanan. Sebuah percakapan anak dan ibu kian menggebu. Perasaan sedih kian datang, perasaan senang juga kian datang. Begitu indah percakapan yang mengisyaratkan kerinduan ibu dan anaknya. Kini mata kian sadar bahwa kemacetan jalan kian terurai. Ternyata kedatanganku dan teman satu ini menempati urutan terakhir.
Satu persatu dari mereka berpamitan dengan keluarga, perlu diketahui bahwa kami terdiri dari 4 orang. Dua perempuan dan juga dua lelaki. Kini berposisi sebagai leader dalam sebuah perjalanan ku tempati, meski saling membantu, namun yang memiliki pengalaman terbang bersama burung besi ketika itu hanya aku. Namun berbeda dengan arah atau rute penerbangannya. Dua perempuan yang sejak dulu ku kenal tegar ini ternyata kian menangis. Ketika peukan sang ibunya dirasa, tak ayal air mata mereka kian mengalir. Wejangan dari berbagai hal kian dilayangkan oleh masing masing orang tuanya. Ditengah kebersamaan mereka yang kian erat. Di kelilingi banyak orang di pinggiran “departure area”. Seperti kampung kecil yang mereka miliki, isak tangis sang bunda yang lembut hatinya kian bersuara. Bahkan satu dari lelaki yang berstatus bapak mendatangiku. “Titip Dina ya nak”. Ya bapak itu adalah lelaki tua yang tadi satu mobil menuju bandara. “InshaAllah pak, doakan kami”. Dengan senyuman mengembang khas seorang bapak, bisa ku tebak beliau adalah bapak yang hebat. Melahirkan seorang anak yang begitu tegar, cerdas, bersahaja serta memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni.
Kampung kecil ini kian sedih ketika kulihat seorang teman lelaki memeluk sesosok lelaki tua yang juga berstatus sebagai bapak. Satu persatu dari mereka mengulangi aksi yang sebetulnya kubenci, yaitu memeluk orang yang mereka sayangi. Aaaau.... seorang anak kecil berlari dan terjatuh, ketika itu kusadari kalau aku adalah lelaki yang sedang iri  dengan pelukan keluarga. Tak ayal, pelupuk mata ini kian sulit menahan sebuah air suci yang datang dari mata. Rindu ini memang semakin tak bertuan. Namun sedari lama ku sadari kalau rindu memanglah makhluk paling kejam, karena aku kian berteman dengan jarak dan waktu. Sampai kusadari kalau rindu adalah anak dari keduanya. Sedikit malu untuk menahan tangis, dengan cepat ku hapus kering semuanya, namun pelupuk mata mengisyaratkan berbeda. Tidak bisa bohong jika ia menampung air mata. Tidak bisa dusta kalau peluuknya memerah dan berkaca.
Kulihat seorang bapak yang kian manatapku tajam, entah karena iba dan kasihan. Mungkin juga karena marah melihat diri yang kian berpura tegar. Mengingat check in telah dilakukan sedari datang ke bandara. Kini kami dihadapkan dengan sebuah antrian panjang didepan ruang pemeriksaan imigrasi. Satu persatu mendapat giliran, sampai pada urutanku yang menyerahkan paspor sebagai dokumen dokumen resmi keberangkatan. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt..... getar kali ini datang dari pesan blek beri. “aku dijalan menuju bandara, sekarang kejebak macet”. Sungguh, bagai petaka datang dsiang bolong. Ketika passport resmi di-cap petugas imigrasi, mengapa pesan itu baru kuterima? Apakah baru kau kirim? Atau memang operator blek beri yang dendam padaku karena terlalu sering mengatakan rindu padamu? Ah...... kini satu persatu barang bawaan diperiksa dengan alasan keamanan. Dan kali ini, air mineral yang kubeli disita oleh petugas imigrasi, jeruk yang didapat juga disita bahkan kecap pedas yang kubeli juga ikut disita. Tak apa, mau diambil bajuku sekalian juga tidak masalah. Yang ada dipikiranku kini hanya bagaimana bertemnu dengannya yang kini berada dikerumunan motor dan mobil. Mungkin ia juga sedang berteriak meminta ditunggu. Tapi Milea,... aaaahhhhh.
Mas, tolong mas, izinin saya keluar bentar saja” percakapan alot bersama petugas imiigrasi kian terjadi. “maaf, paspor anda sudah di-cap yang berarti anda tidak boleh keluar ruang tunggu lagi. Penerbangan anda 30 menit lagi mas”. Berbagai dara untuk merayu petugas imigrasi dilakukan. Sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana raut wajahku kala itu. Untuk yang kedua kalinya mata ini berkaca-kaca. Sangat berharap ini adalah mimpi buruk dimana ketika bangun ada Milea disisiku. Ternyata tidak, ini adalah kenyataan yang kian menyiksa. “Aku didepan area keberangkatan” bagai diserbu beribu derapan dan langkah kaki. Seakan dipukul namun tdak bisa berteriak. Dipojok bilik imigrasi mata ini kembali berkaca-kaca dengan berlahan. “maaf, aku tidak bisa keluar ruang tunggu lagi” dengan sangat terpaksa pesan itu kukirim setelah benar benar putus asah. “ya sudah tidak apa apa, yang penting semoga selamat sampai tujuan”. Berat untuk dipercaya, bahwa pertemuan dalam hujan semalam adalah terakhir sebelum Keluar dari negeri antah berantah ini. “Sudah dipesawat ya? Aku dianjungan ini. Dari sini hanya terlihat ekor pesawatmu. Hati hati dijalan. Kabari jika sudah sampai
Milea, malam ini kutulis cerita ini tidak seperti biasanya. Tidak ada rembulan, aku tidak diatas genteng. Namun inspirasinya tetap satu. Kamu. Bulan mungkin sedang mencariku juga. Yang senantiasa bercumbu dengannya. Bercumbu dengan kamar itu. Namun kini ternyata kita beda negara, bukan lagi beda RT dan RW seperti kemaren. Hehehe selamat malam Milea, sudah senyum?
....Aku di sini dan kau di sana
Hanya berjumpa via suara
Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa
Meski kau kini jauh di sana
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati....
(RAN-Dekat Dihati)

Wednesday, April 1, 2015

ANGIN DUTA SUARA

Kutitipkan laut, dia berombak
Kutumpukan angin, terbang melayang
Kusimpan bersama embun, kedinginan
Kulempar kematahari, terbakar
Bingung....
Bunga tak selamanya mekar
Pun begitu dengan senyum
Tak selamanya segaris
Bukan kisah Mahabarata
Apalagi Angling Dharma
Hanyalah gelisah akan satu rasa 
Ini bukan kasih dalam bait puisi
Juga bukan cinta dalam kata kata
Resah mencari makna
Ingin kubuang rasa rindu
Karena alamat dulu tak dapat dituju
Ohhh.... meski meraba, ternyata rasa masih dalam senyum mu

BALIK UNTUK TANGKUN

Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna.
     6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan.
     Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai).
     Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-)
------Dikutip dari Novel "Jagoan Padang Keladi", Karya Yudhi Doank.
Didedikasikan untuk Padang Keladi dan kelima sahabat masa SMP (Mario, Ranu, Candra, Eko & Sunyoto) Yang kini sebagian dari kami entah dimana.
 

Blogger news